
Oleh: Mohtar Umasugi
Beberapa hari terakhir, hati terusik oleh sebuah kenyataan yang mengejutkan sekaligus menyedihkan: sejumlah pengurus dan satu imam Masjid Raya Al-Istiqomah, jantung spiritual Kabupaten Kepulauan Sula, diberhentikan secara mendadak oleh Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat (Kabag Kesra) Pemerintah Daerah.
Masjid Raya Al-Istiqomah bukan sekadar bangunan ibadah. Ia adalah simbol keberagamaan, tempat berkumpulnya hati yang rindu pada Allah, dan titik temu masyarakat dalam suka maupun duka. Maka ketika kabar pemberhentian itu mencuat, banyak warga terutama yang shalat lima ( 5 ) waktu di Masjid Raya Al-Istiqomah bertanya-tanya: apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Pemberhentian tersebut dilakukan melalui surat resmi yang kabarnya tidak disertai dengan musyawarah atau pemberitahuan sebelumnya kepada para pihak yang bersangkutan. Para imam dan pengurus yang telah bertahun-tahun mendedikasikan diri untuk pelayanan umat, mendadak dinyatakan tidak lagi menjabat.
Saya sempat berbincang dengan beberapa tokoh masyarakat dan jamaah setia Masjid Raya. Mereka menyayangkan proses yang dianggap tergesa-gesa dan tanpa klarifikasi terbuka. Tidak sedikit pula yang mulai bertanya-tanya, apakah keputusan ini murni administratif, ataukah ada unsur lain yang tersembunyi di baliknya?
Dari kacamata regulasi, pemerintah daerah melalui Bagian Kesra memang memiliki kewenangan administratif terhadap pengelolaan masjid yang dibiayai oleh APBD, termasuk Masjid Raya Al-Istiqomah. Namun kita tidak bisa menempatkan masjid dalam kerangka manajemen seperti institusi sekuler biasa. Masjid memiliki kekuatan simbolik dan spiritual yang tidak bisa diputuskan hanya lewat surat pemberhentian.
Lebih dari itu, imam bukan sekadar petugas. Ia adalah pemimpin ruhani. Ia membimbing umat dalam ibadah, dalam doa, dalam duka, dan bahkan dalam hening. Maka memberhentikan seorang imam atau pengurus masjid, tanpa musyawarah dan pendekatan yang manusiawi, sama saja dengan mengabaikan perasaan kolektif umat.
Saya tidak ingin berspekulasi terlalu jauh. Namun di negeri kecil seperti Kepulauan Sula, kita tidak bisa menutup mata terhadap kemungkinan bahwa kebijakan semacam ini bisa bersinggungan dengan dinamika politik lokal. Apakah benar ini murni evaluasi kinerja? Ataukah ada motif lain seperti perbedaan pilihan politik, afiliasi organisasi, atau ketidaksukaan personal?
Jika ini yang terjadi, maka sangat disayangkan. Rumah Allah seharusnya menjadi zona netral, suci dari segala bentuk tarik-menarik kepentingan duniawi.
Saya yakin, di balik kebijakan ini, ada niat baik yang ingin dicapai. Namun niat baik harus berjalan beriringan dengan cara yang baik. Maka, saya mengusulkan agar pemerintah daerah, khususnya Bagian Kesra, membuka ruang dialog terbuka bersama para tokoh agama dan masyarakat. Tidak ada salahnya mengkaji ulang keputusan ini atau setidaknya memberi penjelasan resmi kepada publik agar tidak menjadi bola liar yang memecah belah ukhuwah.
Polemik ini mengajarkan kita semua bahwa mengelola rumah ibadah tidak cukup dengan aturan dan jabatan. Diperlukan empati, komunikasi, dan kesadaran bahwa imam dan pengurus masjid adalah penjaga denyut spiritual masyarakat.
Mari kita jaga Masjid Raya Al-Istiqomah sebagai ruang sakral yang mengayomi semua, bukan menjadi medan konflik atau tempat mempraktikkan kekuasaan administratif secara kaku. Semoga semua pihak bisa menahan diri, dan lebih mengedepankan dialog daripada dominasi.