
Oleh: Mohtar Umasugi
Akademisi STAI Babussalam Sula
Dalam satu dekade terakhir, kita menyaksikan perubahan sosial yang begitu cepat, namun tidak selalu berpihak pada kesejahteraan masyarakat secara luas. Di Kabupaten Kepulauan Sula, misalnya, krisis lapangan kerja telah menjadi salah satu sumber utama timbulnya berbagai gejala sosial baru ( disorientasi sosial ). Di tengah narasi pembangunan yang terus digaungkan, justru terjadi fenomena yang kontradiktif: meningkatnya pengangguran, meningkatnya ketimpangan sosial, dan menurunnya kepercayaan generasi muda terhadap sistem sosial dan politik.
Masalah ini tidak berdiri sendiri. Ia harus dibaca dalam kerangka teoritis sosiologi agar kita tidak hanya menyentuh permukaan persoalan, tetapi mampu memahami akar dan relasi antargejala yang lebih dalam.
Dalam pandangan teori konflik yang digagas oleh Karl Marx, struktur sosial dan ekonomi dalam masyarakat selalu menjadi arena pertarungan antara mereka yang memiliki akses terhadap sumber daya (terutama ekonomi dan kekuasaan) dan mereka yang tidak. Krisis lapangan kerja di Kepulauan Sula memperlihatkan bagaimana ketimpangan struktural terjadi akibat kegagalan distribusi sumber daya secara adil.
Lapangan kerja yang terbatas hanya dapat diakses oleh segelintir orang—terutama mereka yang dekat dengan pusat kekuasaan atau memiliki koneksi birokratis. Di sisi lain, kelompok muda dan masyarakat pinggiran menjadi korban dari sistem yang tidak inklusif. Akibatnya, lahirlah gejala sosial seperti frustasi sosial, alienasi, hingga kejahatan kecil yang sering kali dianggap “kenakalan remaja”, padahal ia adalah bentuk resistensi terhadap sistem yang tidak adil.
Krisis lapangan kerja juga dapat dianalisis melalui konsep anomie dari Émile Durkheim. Anomie adalah keadaan di mana norma-norma sosial menjadi kabur atau tidak efektif lagi karena perubahan sosial yang cepat tidak diimbangi dengan stabilitas struktur sosial. Dalam konteks Kepulauan Sula, banyak generasi muda yang berada dalam situasi anomik—mereka kehilangan pegangan hidup, tidak tahu ke mana harus melangkah, dan tidak melihat masa depan yang pasti.
Dalam situasi anomik, individu mudah terjerumus ke dalam perilaku menyimpang. Di kepulauan Sula kita bisa mengaitkan ini dengan meningkatnya kasus perkelahian remaja, konsumsi minuman keras secara bebas, pencurian dan perampokan, kasus asusila seperti pemerkosaan, persetubuhan, pencabulan, masalah KDRT sampai kasus perceraian merupakan sinyal kegelisahan sosial yang setiap hari diberitakan lewat media massa baik online maupun cetak.
Dari pendekatan fungsionalisme struktural, sebagaimana dikembangkan Talcott Parsons dan Robert K. Merton, setiap elemen dalam masyarakat memiliki fungsi tertentu, baik yang disadari (fungsi manifes) maupun tidak disadari (fungsi laten). Lapangan kerja, misalnya, tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendapatan, tetapi juga sebagai sarana integrasi sosial, penyaluran bakat, serta pembentukan identitas dan harga diri.
Ketika fungsi ini hilang karena krisis lapangan kerja, masyarakat tidak hanya mengalami ketimpangan ekonomi, tetapi juga kehilangan struktur integratifnya. Fungsi laten seperti solidaritas sosial, etos kerja, dan partisipasi warga dalam kehidupan sosial pun ikut melemah.
Krisis lapangan kerja bukan hanya persoalan ekonomi, tetapi adalah masalah sosial yang kompleks dan sistemik. Ia menghasilkan gejala sosial baru yang berakar dari ketimpangan dan disorientasi nilai dalam masyarakat. Pemerintah daerah, lembaga pendidikan, pelaku usaha, dan seluruh elemen masyarakat sipil harus bersama-sama membangun sistem ketenagakerjaan yang tidak hanya menampung angka statistik, tetapi mampu memberi arah dan harapan hidup yang nyata bagi warga, terutama generasi muda.
Membangun lapangan kerja berarti membangun kembali tatanan sosial. Di situlah terletak tanggung jawab kita semua terutama pemerintah daerah.
Comment