
Oleh:
Arid Fokaaya
Pengurus ABPEDNAS Maluku Utara
Beberapa hari terakhir, beredar kabar bahwa sebagian besar kepala desa di Kabupaten Kepulauan Sula sedang mengikuti kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) di Jakarta. Namun, yang mencenangkan adalah tidak adanya informasi resmi dari pemerintah daerah, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD), ataupun dari masing-masing pemerintahan desa. Tidak ada pengumuman publik, tidak ada pemberitahuan kepada masyarakat, bahkan banyak Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang tidak tahu-menahu.
Fenomena ini patut disorot serius. Kepala Desa bukan hanya figur administratif, melainkan juga ujung tombak pelayanan publik di tingkat desa. Ketika mereka pergi beramai-ramai ke luar daerah tanpa pemberitahuan yang jelas kepada warga, maka itu bukan hanya soal absensi fisik, melainkan soal tanggung jawab moral dan politik yang abai terhadap prinsip transparansi pemerintahan desa.
Mari kita jujur kegiatan bimtek sering kali menjadi agenda yang tidak sepenuhnya akuntabel. Dengan dalih peningkatan kapasitas, banyak kegiatan semacam ini justru lepas dari pengawasan publik. Tidak ada rincian anggaran yang disampaikan, tidak jelas siapa yang menjadi fasilitator, dan tak pernah ada laporan hasil kegiatan yang dipublikasikan. Jika ini terus dibiarkan, maka desa akan kehilangan ruh akuntabilitasnya.
Sebagai pengurus ABPEDNAS Maluku Utara, saya menegaskan bahwa peningkatan kapasitas aparatur desa memang penting. Namun penting pula untuk dipastikan bahwa setiap agenda pelatihan dilandasi kebutuhan nyata, diselenggarakan secara profesional, dan yang paling utama terbuka untuk di awasi oleh publik. Jika tidak, bimtek hanya akan menjadi ruang nyaman untuk menghabiskan anggaran tanpa kejelasan manfaat.
Kepala desa dipilih oleh rakyat, digaji dari dana negara, dan bertugas langsung melayani masyarakat. Maka publik berhak mengetahui ke mana mereka pergi, untuk apa, berapa biayanya, dan apa manfaat langsung bagi warga desa. Ketika semua itu tak dijelaskan, maka ruang kepercayaan antara rakyat dan pemerintah desa akan terkikis secara perlahan dan lama kelamaan akan hilang.
Yang lebih mengkhawatirkan, ketertutupan ini bukan hanya soal satu kegiatan. Ini gejala dari mentalitas elitis di level desa, yang melihat jabatan sebagai hak istimewa, bukan amanah yang harus dipertanggungjawabkan setiap saat. Padahal dalam sistem pemerintahan desa yang sehat, transparansi bukan tambahan, melainkan syarat dasar.
ABPEDNAS memandang bahwa keterlibatan BPD sebagai lembaga representatif desa sering kali diabaikan. Banyak kepala desa enggan berkoordinasi, bahkan alergi pada pengawasan. Padahal, jika koordinasi antar lembaga desa berjalan baik, kegiatan semacam bimtek justru bisa menjadi ruang peningkatan kapasitas kolektif bukan ajang eksklusif segelintir elit.
Hal ini seharusnya menjadi perhatian serius Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sula dan Dinas PMD agar dapat menyusun mekanisme keterbukaan informasi kegiatan kepala desa, termasuk kegiatan luar daerah. Setiap desa semestinya memiliki kewajiban untuk mempublikasikan agenda perjalanan dinas dan hasilnya secara terbuka melalui papan informasi desa atau media sosial resmi.
Jika praktik semacam ini dibiarkan tanpa koreksi, maka akan timbul preseden buruk. Kepala desa tidak perlu lagi merasa wajib melapor ke warga. Anggaran bisa terus digunakan tanpa pelibatan, dan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan desa makin tergerus. Ini bukan hanya soal administrasi namun soal legitimasi moral seorang pemimpin di level paling dasar dari struktur negara.
Desa bukan kerajaan kecil. Kepala desa bukan raja yang bisa pergi sesuka hati tanpa pertanggungjawaban. Mereka adalah pejabat publik yang seharusnya hadir, terbuka, dan terus-menerus membangun komunikasi dengan rakyatnya.