
Oleh:
Mohtar UmasugiÂ
Hari ini, saya menulis bukan sekadar sebagai warga, tapi sebagai anak daerah yang mencintai tanah kelahirannya—Kabupaten Kepulauan Sula. Ada rasa haru yang bercampur kecewa saat saya menatap wajah negeri ini dari waktu ke waktu. Dulu kita begitu optimis ketika Kabupaten ini dibentuk, ketika otonomi daerah menjadi harapan untuk pemerataan pembangunan. Namun kini, realitas berkata lain. Kita seperti hidup dalam pepatah lama: “sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada gunanya”.
Kalau kita mau jujur, cukup melihat Kota Sanana—ibu kota kabupaten—sebagai cermin. Kota yang seharusnya menjadi wajah representatif dari kemajuan daerah, justru hari ini terlihat kumuh dan semrawut. Drainase yang mampet, jalan yang rusak, kawasan pasar yang tak teratur, dan fasilitas umum yang minim perawatan adalah pemandangan sehari-hari. Sanana tak lagi terasa seperti pusat pemerintahan yang tertata, melainkan seperti kota yang dibiarkan berjalan tanpa arah jelas.
Jika ibu kota saja kondisinya demikian, bisa kita bayangkan bagaimana kehidupan di desa-desa. Banyak desa yang masih bergantung pada listrik yang tak stabil, akses jalan yang rusak parah, dan pelayanan dasar seperti air bersih serta kesehatan yang jauh dari layak. Pendidikan pun belum merata secara kualitas, dengan minimnya tenaga guru dan fasilitas pendukung.
Saya tak sedang menghakimi, tetapi mencoba mengajak kita semua untuk jujur menilai. Bahwa kita sedang menghadapi stagnasi pembangunan yang nyata. Kita pernah berharap banyak, dan pernah menitipkan masa depan kepada para pemimpin ( Bupati, Wakil Bupati dan DPRD) yang kita pilih. Namun harapan itu tak kunjung tumbuh menjadi perubahan konkret. Kini, ketika kesadaran mulai datang, waktu sudah banyak terbuang. Penyesalan datang, tapi apa daya, sesal kemudian tiada gunanya.
Namun di titik inilah kita harus bangkitkan kesadaran kolektif, karena kesadaran kolektif adalah kunci. Kita tidak bisa menyerahkan nasib daerah ini hanya pada satu dua orang, apalagi terus berharap dari luar tanpa membenahi dari dalam. Saatnya kita membangun kesadaran bersama—bahwa kemajuan Kepulauan Sula adalah tanggung jawab kita semua. Mulai dari membangun pola pikir kritis kepemimpinan, mendorong partisipasi aktif dalam pengawasan dan perencanaan pembangunan, hingga memastikan suara rakyat tidak berhenti di bilik suara, tapi hidup dalam ruang publik, media, diskusi, dan tindakan nyata.
Mari kita jadikan kekecewaan hari ini sebagai energi perubahan. Kita ajak seluruh lapisan masyarakat—kaum muda, tokoh agama, perempuan, petani, nelayan, ASN, hingga diaspora Sula di luar daerah—untuk bersatu dalam satu visi: membangun kembali negeri ini dengan hati, dengan ilmu, dan dengan integritas.
Jangan lagi kita menunggu hingga sesal itu benar-benar tidak berguna. Hari ini masih ada waktu, masih ada peluang, dan masih ada semangat untuk menyelamatkan masa depan Sula. Kita harus percaya, bahwa ketika rakyat bergerak dengan kesadaran, maka perubahan bukan lagi sekadar mimpi, melainkan keniscayaan.