
Oleh: Mohtar Umasugi
Di era modern yang dipenuhi dengan kesibukan dan tuntutan tak berkesudahan, manusia kerap terjebak dalam ritme hidup yang nyaris mekanis. Hari-hari diisi dengan pekerjaan, pertemuan, pencapaian target, hingga rutinitas yang nyaris tanpa jeda. Tubuh mungkin masih bergerak, mulut tetap tersenyum, tetapi jauh di dalam, jiwa bisa jadi sedang menjerit tanpa suara. Disinilah pentingnya menyadari satu kebutuhan hakiki yang kerap terlupakan
Istilah recharge selama ini lebih akrab dalam dunia teknologi, namun dalam dimensi spritual, konsep ini memiliki makna yang tak kalah penting. Dalam Islam, Rasulullah SAW memberikan teladan luar biasa mengenai hal ini. Meski beliau memikul berbagai tanggung jawab sebagai pemimpin, suami, panglima perang, dan pendidik umat, beliau tetap meluangkan waktu untuk menyendiri, bertafakur, dan bermunajat kepada Allah SWT. Momen tersebut bukan sekadar rutinitas ibadah, tetapi adalah proses spiritual recharge menghubungkan kembali diri dengan Sang Sumber Kekuatan.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an, “Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS. Ar-Ra’d: 28). Ayat ini bukan hanya hiburan bagi jiwa yang gelisah, melainkan juga petunjuk yang menunjukkan bahwa ketenangan dan kekuatan sejati tidak lahir dari keberhasilan duniawi semata, tetapi dari hubungan yang tulus dan mendalam dengan Sang Khalik.
Dalam perspektif psikologi modern, konsep ini pun diperkuat. Dr. Saundra Dalton-Smith dalam bukunya Sacred Rest mengidentifikasi tujuh jenis istirahat yang dibutuhkan manusia, salah satunya adalah istirahat spiritual. Ia menekankan bahwa seseorang bisa tetap merasa lelah meski tidurnya cukup, jika ia tidak mendapatkan ketenangan batin melalui hubungan spiritual yang sehat. Dalam konteks ini, dzikir, shalat, perenungan ayat-ayat Allah, atau sekadar berdiam di alam dapat menjadi media ampuh untuk menyegarkan jiwa yang telah lelah oleh hiruk pikuk dunia.
sayangnya, tak jarang kita merasa bersalah saat mencoba berhenti sejenak demi mengurus batin. Kita terjebak dalam ilusi bahwa produktivitas harus terus berjalan tanpa henti, padahal Islam mengajarkan bahwa keberkahan dalam produktivitas justru lahir dari hati yang bersih dan pikiran yang jernih. Spiritual recharge bukan bentuk kemalasan, melainkan bagian dari tanggung jawab terhadap amanah kehidupan itu sendiri.
Pengalaman pribadi menunjukkan bahwa saat semangat melemah dan hidup terasa hambar, ibadah bisa menjadi pelipur lara yang tak tergantikan. Ketika saya memperlambat langkah, membuka mushaf, dan membaca ayat-ayat yang menenangkan hati, di sanalah saya menemukan ketenangan yang tak dapat dibeli oleh dunia. Bukan karena dunia terlalu berat, tetapi karena ruhani yang terlalu kosong.
Recharge spiritual sejatinya tidak perlu menunggu waktu luang. Ia bisa dimulai dari kesadaran untuk menjadikan ibadah bukan sekadar kewajiban, melainkan oasis yang menyejukkan di tengah padatnya kesibukan. Setiap sujud adalah momen penyambungan energi ilahi. Setiap dzikir adalah rawatan hati. Setiap doa adalah kepulangan dari jiwa yang tersesat arah.
Pada akhirnya, saya yakin bahwa recharge spiritual bukan hanya kebutuhan, tapi keniscayaan. Kita bukan mesin yang hanya butuh makan dan tidur. Kita adalah ruh yang dibalut oleh jasad, dan ruh itu membutuhkan asupan dari Tuhan-Nya. Maka sebelum daya kita benar-benar habis, sebelum arah hidup benar-benar kabur, mari kita isi ulang baterai iman kita bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk benar-benar hidup.