
SOFIFI, Transtimur.com – Triwulan pertama tahun 2025 menandai babak baru bagi ekonomi Maluku Utara. Provinsi ini mencatat pertumbuhan ekonomi yang menakjubkan, mencapai 34,58 persen, menjadikannya yang tertinggi se-Indonesia.
Pasalnya, Ekonomi Maluku Utara pecahkan rekor 34,58% di Q1 2025 berkat nikel. Namun, serapan APBD lesu & NTP petani anjlok. Siapa sebenarnya yang menikmati pertumbuhan PDB Malut ini?.
Berdasarkan data yang di himpun Transtimur.com malalui Bank Indonesia (BI), menunjukkan, PDRB Maluku Utara melonjak drastis dari 27,27% pada akhir 2024, mengungguli provinsi lain seperti Papua Barat dan Sulawesi Tengah. Sebuah pencapaian rekor yang menarik perhatian nasional.
Ekspor nikel menjadi lokomotif utama di balik lonjakan fenomenal ini. Dalam periode Januari-Maret 2025, nilai ekspor Maluku Utara mencapai USD 3,22 miliar (sekitar Rp52,24 triliun), di mana dominasi produk nikel mencapai 95%. Volume ekspor nikel pun meroket dari 2,8 juta ton menjadi 4,2 juta ton.
Peningkatan ini sejalan dengan operasional smelter nikel baru di Halmahera Tengah dan Selatan yang kini berjalan penuh. Namun, di balik kegemilangan ekspor, ada sisi lain yang perlu dicermati. Kebutuhan industri hulu akan pasokan dari luar juga meningkat signifikan.
Impor Maluku Utara naik menjadi USD 1,15 miliar (sekitar Rp18,61 triliun), didominasi oleh alat berat, bahan bakar, dan bahan kimia industri. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi Malut sangat bergantung pada input eksternal. Neraca net ekspor Maluku Utara tercatat sebesar USD 2,08 miliar atau sekitar Rp33,7 triliun.
Fenomena menarik lainnya adalah serapan belanja pemerintah daerah (APBD) yang masih lesu. Meskipun APBD Maluku Utara 2025 mencapai Rp16,99 triliun, realisasi belanja di triwulan I hanya 10,09%. Serapan di tingkat provinsi baru 7,03% dan kabupaten/kota 10,86%. Rendahnya serapan ini berpotensi menghambat stimulus ekonomi yang seharusnya bisa didorong dari sektor publik.
Analisis kontribusi sektoral PDRB juga menyingkap ketimpangan yang jelas. Industri pengolahan menyumbang 21,73% dan pertambangan 9,74%. Mirisnya, sektor pertanian Maluku Utara hanya berkontribusi 1,09%, bahkan sektor pendidikan, kesehatan, dan jasa sosial kurang dari 1%. Dominasi industri ekstraktif sangat terlihat jelas dalam struktur ekonomi saat ini.
Ketimpangan ini semakin terasa di lapangan. Sektor pertanian yang menjadi tulang punggung banyak masyarakat lokal, hanya tumbuh 3,99% berbanding jauh dengan industri nikel yang melesat 75,3%. Akibatnya, Nilai Tukar Petani (NTP) Maluku Utara justru menurun dari 103,87 menjadi 103,12. Ini berarti biaya hidup petani meningkat lebih cepat daripada harga jual hasil panen mereka.
Tekanan diperparah oleh inflasi makanan yang melonjak hingga 6,51%. Petani di Malut merasa menjual lebih banyak, namun memperoleh laba yang lebih kecil.
Pertanyaan krusial pun mengemuka: dengan ekspor triliunan Rupiah dan APBD yang besar, mengapa alokasi dana ke sektor fundamental seperti pertanian, pendidikan, dan kesehatan masih minim? UMKM Maluku Utara juga menghadapi tantangan, dengan kredit macet (NPL) yang meningkat dari 3,44% menjadi 3,54%, di saat industri besar kian ekspansif.
Namun, ada titik terang dari sisi digitalisasi pembayaran. Transaksi QRIS Maluku Utara tumbuh 94% dan e-commerce naik 78%. Ini adalah potensi besar yang harus dioptimalkan agar digitalisasi juga dapat menjangkau dan memberdayakan petani serta pelaku usaha kecil.
Pertumbuhan ekonomi 34,58% di Maluku Utara pada triwulan pertama 2025 bukan sekadar angka. Ini adalah cerminan dan sekaligus ajakan untuk merenung: apakah ini pertumbuhan inklusif yang merata bagi seluruh masyarakat Maluku Utara, atau hanya keuntungan segelintir pabrik dan smelter, meninggalkan petani yang tertekan dan anggaran yang belum terserap optimal? Ekonomi memang tumbuh, namun untuk siapa sebenarnya?.
Comment