
Oleh:
Mohtar UmasugiÂ
( Akademisi STAI Babussalam Sula)
Abstrak
Akhlak memiliki peran multidimensi dalam membentuk karakter dan perilaku manusia. Ia berfungsi bukan hanya sebagai filter untuk menyaring berbagai dorongan negatif, tetapi juga sebagai kekang untuk mengendalikan kecenderungan destruktif dalam diri manusia. Di tengah era modern yang serba bebas, akhlak menghadapi tantangan berat akibat liberalisasi nilai dan relativisme moral. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji secara mendalam fungsi ganda akhlak berdasarkan perspektif ulama klasik dan pemikir kontemporer, serta menguraikan relevansi akhlak dalam menjaga stabilitas sosial dan keseimbangan individu. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa revitalisasi akhlak bukan sekadar kebutuhan normatif, tetapi keharusan strategis demi keberlangsungan peradaban manusia.
Kata kunci: Akhlak, Filter Moral, Kekang Nafsu, Tantangan Modernitas, Etika Islam.
1. Pendahuluan
Akhlak merupakan fondasi penting dalam peradaban manusia. Islam, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, menempatkan akhlak di posisi sentral. Bahkan, Nabi Muhammad SAW menegaskan dalam sabdanya:
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Ahmad).
Dalam konteks modern, di mana teknologi, kebebasan berekspresi, dan mobilitas sosial berkembang pesat, keberadaan akhlak menghadapi ujian yang sangat berat. Tantangan zaman modern melahirkan relativisme nilai, yang membuat akhlak terkesan subjektif dan fleksibel. Padahal, dalam Islam, akhlak memiliki standar objektif yang harus dipertahankan.
Dua fungsi utama akhlak—sebagai filter dan kekang—menjadi semakin penting. Akhlak bukan hanya instrumen personal, tetapi juga sosial. Ia berfungsi menapis tindakan sebelum menjadi perilaku nyata, sekaligus menahan dorongan destruktif sebelum berkembang menjadi tindakan merusak.
2. Fungsi Akhlak Sebagai Filter.
2.1 Akhlak Sebagai Mekanisme Penyaring.
Dalam teori psikologi Islam, manusia memiliki potensi baik (fitrah) dan potensi buruk (nafsu ammarah). Akhlak berperan sebagai filter yang menyaring semua dorongan internal sebelum diwujudkan dalam tindakan nyata.
Menurut Dr. Yusuf al-Qaradawi dalam Al-Akhlaq al-Islamiyyah, akhlak yang kokoh menjadikan individu mampu:
“Menahan bisikan hawa nafsu sebelum ia berubah menjadi tindakan yang merusak.” (Al-Qaradawi, 2008).
Sehingga, akhlak ibarat saringan dalam tubuh manusia, yang mengeliminasi impuls-impuls negatif dan hanya melewatkan perilaku yang dibenarkan akal sehat dan nilai-nilai moral.
Dalam pandangan Hamka dalam Tasawuf Modern, akhlak yang kuat berarti:
“Memiliki benteng dalam diri, yang walaupun dunia menawarkan kenikmatan berlimpah, tetap memilih jalan kesabaran dan kejujuran.” (Hamka, 1950).
2.2 Konteks Filter Akhlak di Era Modern.
Era digital dan globalisasi memunculkan budaya instan, ekspresi tanpa batas, dan budaya viral. Tanpa filter akhlak yang kuat, individu mudah terbawa arus negatif, termasuk penyebaran hoaks, ujaran kebencian, hingga perilaku konsumtif berlebihan.
Dalam konteks ini, filter akhlak harus dikuatkan sejak dini melalui pendidikan karakter berbasis nilai agama, seperti yang diungkapkan Thomas Lickona dalam Educating for Character (1991):
“Moral education must help young people develop an inner moral compass, not merely teach them how to obey external rules.”
3. Fungsi Akhlak Sebagai Kekang
3.1 Akhlak Sebagai Instrumen Pengendali
Selain menyaring, akhlak juga mengendalikan dorongan negatif. Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin mengumpamakan akhlak sebagai tali kendali kuda:
“Tanpa kekang, kuda akan berlari liar dan membinasakan penunggangnya.” (Al-Ghazali, 2005).
Demikian pula manusia, jika dibiarkan mengikuti semua dorongan nafsu tanpa kendali akhlak, ia akan terperosok ke dalam kehancuran moral.
Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Kematangan Spiritual menjelaskan bahwa kematangan moral seseorang bukan diukur dari kebebasan yang dinikmati, melainkan dari:
Kemampuan mengendalikan nafsu demi kebaikan jangka panjang.” (Hidayat, 2006).
3.2 Urgensi Kekang Akhlak dalam Masyarakat Modern.
Dalam masyarakat modern, konsep kebebasan seringkali diinterpretasikan sebagai hak mutlak tanpa batas. Tanpa kekang akhlak, masyarakat terjebak dalam hedonisme dan nihilisme.
Karen Armstrong dalam The Case for God menulis:
“Kebebasan sejati adalah saat manusia mampu menguasai dirinya, bukan saat ia membiarkan dirinya dikuasai hasrat.” (Armstrong, 2009).
Maka, kekang akhlak bukan bentuk penindasan terhadap kebebasan, tetapi justru prasyarat agar kebebasan bermakna dan tidak berujung pada kehancuran.
4. Implikasi Sosial dan Peradaban
4.1 Akhlak dan Stabilitas Sosial
Masyarakat yang berlandaskan akhlak yang kuat akan membangun harmoni sosial. Tanpa akhlak, regulasi hukum dan norma sosial menjadi tidak efektif. Muhammad Al-Ghazali dalam Khuluq al-Muslim mengingatkan:
“Aturan hukum hanya berfungsi jika didukung kesadaran moral internal.” (Al-Ghazali, 1970).
Krisis sosial, seperti korupsi, kekerasan, dan ketidakadilan, sebagian besar bersumber dari runtuhnya filter dan kekang akhlak dalam individu.
4.2 Akhlak Sebagai Pilar Keberlanjutan Peradaban.
Sejarah mencatat bahwa jatuh bangunnya suatu peradaban lebih banyak ditentukan oleh kekuatan akhlaknya. Ibn Khaldun dalam Muqaddimah menyatakan:
“Kejatuhan bangsa-bangsa besar bukan karena kekurangan sumber daya, tetapi karena kehancuran akhlak penguasanya.”
Dengan demikian, membangun akhlak berarti membangun peradaban yang berkelanjutan.
5. Penutup
Akhlak merupakan filter dan kekang yang menentukan kualitas pribadi dan masyarakat. Tanpa filter, manusia akan mudah terseret dorongan negatif. Tanpa kekang, manusia akan menjadi budak hawa nafsunya. Di era modern yang penuh godaan dan relativisme nilai, kebutuhan akan penguatan akhlak menjadi semakin mendesak. Pendidikan akhlak harus diprioritaskan, tidak hanya dalam keluarga dan institusi pendidikan, tetapi juga dalam kebijakan publik.
Sebagaimana pepatah Arab mengingatkan:
“Innama al-umamu akhlaquha, fa-in zahabat akhlaquhum zahabu.”
(“Bangsa itu tergantung akhlaknya. Jika akhlaknya rusak, hancurlah bangsa itu.”)
Revitalisasi akhlak adalah keniscayaan bagi survival individu dan peradaban di tengah gelombang perubahan global yang cepat dan seringkali tak terkendali.
Daftar Pustaka
Al-Ghazali. (2005). Ihya’ Ulumuddin. Darul Fikr.
Al-Ghazali, Muhammad. (1970). Khuluq al-Muslim. Darul Syuruq.
Al-Qaradawi, Yusuf. (2008). Al-Akhlaq al-Islamiyyah. Maktabah Wahbah.
Armstrong, Karen. (2009). The Case for God. Alfred A. Knopf.
Hamka. (1950). Tasawuf Modern. Pustaka Panjimas.
Hidayat, Komaruddin. (2006). Psikologi Kematangan Spiritual. Gramedia.
Ibn Khaldun. (2004). The Muqaddimah: An Introduction to History. Princeton University Press.
Lickona, Thomas. (1991). Educating for Character: How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. Bantam Books.