
Sanana, Transtimur.com – Kabupaten Kepulauan Sula dihadapkan pada persoalan pelik baru. Belum tuntas berbagai isu seperti stagnasi ekonomi, kota kumuh, kelangkaan BBM, dan buruknya infrastruktur dasar, kini publik dikejutkan oleh kabar pengunduran diri seluruh dokter di RSUD Sanana. Peristiwa yang terjadi dua hari terakhir ini tidak hanya mengguncang, tetapi juga mengancam sistem pelayanan publik, khususnya kesehatan, di wilayah tersebut.
Krisis Pelayanan Kesehatan di Kepulauan Sula Memuncak
Peristiwa ini bukan sekadar mundurnya sejumlah tenaga medis, melainkan simbol puncak krisis tata kelola daerah yang telah lama mengendap di Kabupaten Kepulauan Sula. Di saat masyarakat menanti pembenahan masalah lama, muncul “bom waktu” baru yang jauh lebih genting: terancamnya sistem pelayanan kesehatan dasar bagi warga.
Publik secara luas bertanya-tanya: mengapa seluruh dokter di RSUD Sanana memilih langkah ekstrem ini? Investigasi mendalam menunjukkan bahwa ini bukan hanya soal gaji, melainkan akumulasi dari berbagai masalah struktural. Isu-isu tersebut mencakup tidak adanya kejelasan status kepegawaian, tunggakan pembayaran jasa pelayanan yang berlarut-larut, minimnya perlindungan profesi, serta relasi kerja yang jauh dari semangat profesionalisme dan keadilan.
Dampak Buruk Tata Kelola dan Birokrasi yang Abai
Pengunduran diri massal para dokter ini disinyalir kuat sebagai buah pahit dari tata kelola yang buruk dan kultur birokrasi yang abai terhadap kualitas layanan kesehatan. Ketika aspirasi para tenaga medis tak pernah digubris, dan kondisi kerja tidak memenuhi standar keselamatan serta kenyamanan, maka pilihan terakhir yang tersisa adalah mengundurkan diri.
Ironisnya, krisis ini terjadi di tengah masih banyaknya masalah kesehatan klasik yang belum terurai di RSUD Sanana, seperti ketersediaan obat-obatan yang minim, keterlambatan rujukan akibat fasilitas transportasi yang tidak layak, antrean panjang, pelayanan lambat, dan alat medis yang tidak berfungsi optimal. Eksodus tenaga medis ini secara jelas mengindikasikan kegagalan sistem pelayanan kesehatan di Kepulauan Sula.
Pertanyaan Kritis untuk Pemerintah Daerah dan DPRD Sula
Situasi ini memunculkan pertanyaan kritis mengenai peran dan tanggung jawab pemerintah daerah, khususnya Pemkab Kepulauan Sula dan DPRD Kepulauan Sula. Apakah tanggung jawab hanya selesai dengan pernyataan diplomatis seperti “sedang dikaji” atau “akan dikoordinasikan”? Ini adalah saatnya mengakui bahwa RSUD Sanana berada di ambang kolaps akibat kegagalan manajerial yang terus dibiarkan.
Fakta bahwa seluruh dokter sampai memilih mundur serentak merupakan indikasi kuat tidak adanya ruang dialog yang sehat dan disfungsi struktural antara pihak manajemen rumah sakit, pemerintah daerah, dan para tenaga medis.
Masyarakat Kepulauan Sula Jadi Korban Utama
Dampak paling parah dari krisis ini akan dirasakan langsung oleh masyarakat bawah, yang menggantungkan harapan pada RSUD Sanana untuk pelayanan kesehatan dasar. Dalam kondisi ini, siapa yang akan menangani ibu hamil darurat, melayani pasien stroke, penderita diabetes, atau anak-anak dengan infeksi saluran pernapasan? Pemerintah daerah tidak bisa berdiam diri. Diperlukan tindakan cepat, transparan, dan yang paling utama, berpihak pada publik.
Peristiwa ini menjadi momentum refleksi mendalam bagi seluruh pemangku kepentingan di Kepulauan Sula, terutama elite daerah. Pelayanan kesehatan adalah hak dasar warga negara yang dijamin konstitusi, bukan komoditas politik. Rumah sakit adalah institusi kemanusiaan, dan ketika orang-orang terbaiknya memilih pergi, itu menandakan adanya masalah mendasar dalam tata kelola daerah ini.
Sudah saatnya Bupati Kepulauan Sula turun langsung menangani krisis ini, bukan hanya membentuk tim. Sudah waktunya DPRD menjalankan fungsi pengawasan secara nyata, bukan sekadar bersuara. Dan yang terpenting, sudah saatnya masyarakat sipil secara kolektif mendorong perbaikan fundamental.
Penulis : Lutfi Teapon
Editor  : Tim
Comment