
Oleh:
Mohtar Umasugi
Empat bulan bukan waktu yang sebentar, apalagi jika menyangkut hak para tenaga kesehatan yang menjadi tulang punggung pelayanan publik. Itulah kenyataan pahit yang saat ini tengah dirasakan oleh sejumlah dokter di Kabupaten Kepulauan Sula.
Hingga awal Juli 2025, tunjangan mereka belum juga dibayarkan. Informasi yang dihimpun beberapa media online atas alasan yang disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan pun cukup mengagetkan: karena sistem informasi pemerintah daerah (SIPD) sedang mengalami gangguan atau “terkunci”.
Sebagai warga yang turut mengikuti dinamika pemerintahan dan pelayanan publik di daerah ini, saya merasa alasan ini terlalu dangkal dan tidak mencerminkan sikap tanggap dari otoritas terkait. SIPD memang merupakan platform digital nasional yang digunakan untuk perencanaan, penganggaran, dan pelaporan keuangan daerah. Namun, menjadikan SIPD sebagai “kambing hitam” atas keterlambatan tunjangan dokter selama empat bulan berturut-turut adalah bentuk penghindaran tanggung jawab.
Sistem yang Dikunci atau Kinerja yang Mandek?
Perlu dipahami bahwa sistem informasi seperti SIPD hanyalah alat bantu. Di baliknya ada manusia, ada perencanaan, dan ada proses birokrasi yang seharusnya bisa mengantisipasi setiap kendala teknis. Jika benar sistem terkunci, apa langkah darurat yang diambil? Apakah sudah dilakukan koordinasi dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD)? Apakah Dinas Kesehatan sudah bersurat ke Kementerian Dalam Negeri selaku pengelola SIPD?
Kita tidak bisa terus-menerus menyalahkan sistem tanpa meninjau ulang manajemen anggaran dan kesiapan internal OPD (Organisasi Perangkat Daerah). Pertanyaan publik kini semakin tajam: mengapa hanya tunjangan dokter yang tertunda? Bagaimana dengan ASN di dinas lain? Apakah mereka mengalami nasib serupa atau justru pembayaran tetap lancar?
Jika ternyata tunjangan ASN di bidang lain tetap terbayarkan, maka alasan gangguan SIPD menjadi tidak relevan. Ini menandakan adanya masalah pada tata kelola internal Dinas Kesehatan itu sendiri bukan semata pada sistem pusat.
Dampak Psikologis dan Profesional.
Keterlambatan pembayaran tunjangan selama empat bulan bukan hanya soal administrasi, tetapi soal keadilan dan keberpihakan pada sektor kesehatan. Para dokter bukan sekadar pekerja kantoran biasa. Mereka memikul tanggung jawab besar, mulai dari pelayanan primer hingga penanganan gawat darurat, bahkan sering kali bekerja dengan keterbatasan fasilitas.
Kondisi seperti ini tentu bisa memengaruhi semangat kerja dan motivasi mereka. Kita tidak bisa berharap pada pelayanan kesehatan yang maksimal jika tenaga medis merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah sendiri. Apalagi, tunjangan yang belum dibayarkan itu sejatinya merupakan kompensasi atas beban kerja dan tanggung jawab profesional mereka.
Cermin Tata Kelola Anggaran.
Dalam praktik penganggaran daerah, tunjangan tenaga medis harus masuk dalam kategori belanja wajib. Ia tidak boleh digeser apalagi ditunda, kecuali jika terjadi force majeure. Anehnya, kegiatan seremonial, perjalanan dinas, dan proyek pembangunan yang tidak langsung menyentuh masyarakat justru bisa tetap berjalan. Ini menunjukkan adanya ketimpangan prioritas dalam pengelolaan anggaran.
Masyarakat berhak bertanya: ke mana arah tata kelola kita saat ini? Apakah birokrasi sudah sedemikian kompleksnya sehingga kebutuhan dasar seperti tunjangan tenaga medis pun harus dikorbankan? Atau ini justru mencerminkan kelalaian manajemen dalam menyusun dan mengeksekusi anggaran secara tepat waktu?
Perlu Evaluasi Serius.
Kepala Dinas Kesehatan, selaku penanggung jawab anggaran di instansinya, seharusnya tampil proaktif. Ia tidak cukup hanya menyampaikan alasan teknis kepada media. Yang dibutuhkan publik adalah solusi konkret, target waktu penyelesaian, serta komunikasi terbuka kepada para dokter yang terdampak.
Jika benar SIPD menjadi hambatan struktural, maka Pemerintah Daerah perlu mengambil langkah cepat: mengundang tim teknis dari Kemendagri, mengaktifkan desk koordinasi antar-OPD, dan yang terpenting, menyusun skenario pencairan darurat jika keterlambatan ini terus berlanjut.
Jangan Abaikan Hak Tenaga Kesehatan: Catatan Akhir.
Empat bulan keterlambatan bukan sekadar angka. Itu adalah waktu di mana para dokter harus bertahan sambil tetap menjalankan tugas mereka. Kita tidak bisa terus membiarkan kondisi ini berlarut-larut. Jika sistem bermasalah, benahi. Jika manajemen yang lemah, evaluasi. Yang pasti, hak tenaga medis tidak boleh terus-menerus dikorbankan atas nama birokrasi.
Pelayanan kesehatan adalah ujung tombak kepercayaan publik terhadap negara. Dan jika negara sendiri abai pada hak dasar mereka yang melayani di garis depan, maka jangan heran jika kepercayaan itu lambat laun menguap.
Catatan redaksi: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis. Redaksi media memberikan ruang terbuka bagi tanggapan dari pihak-pihak terkait, termasuk Pemerintah Daerah dan Dinas Kesehatan Kabupaten Kepulauan Sula.
Comment