
Oleh: Mohtar Umasugi
Pagi ini, saya berdiri di beranda rumah, memandang langit yang terus-menerus menurunkan hujan selama beberapa pekan terakhir. Di tengah guyuran air dari langit itu, sebuah ironi menohok pikiran saya: di Kota Sanana, air hujan kini menjadi penyelamat utama banyak keluarga. Bukan karena tradisi, apalagi pilihan, tetapi karena keputusasaan akan layanan air bersih dari PDAM yang tak kunjung membaik.
Bayangkan, di sebuah kota kabupaten—pusat administratif, pusat ekonomi, dan representasi wajah pemerintah daerah—masih ada warga yang terpaksa menampung air hujan untuk kebutuhan mandi, mencuci, bahkan memasak. Ini bukan cerita dari kampung terpencil yang jauh dari jangkauan, melainkan dari jantung kota Sanana itu sendiri.
Di tengah musim hujan, tatkala langit begitu murah hati, PDAM justru seolah kehilangan nalar teknis maupun empati. Di beberapa titik seperti Desa Fatcei, Desa Falahu, Desa Fogi, dan Desa Mangon, kran-kran sebagian rumah tangga tetap kering, siang maupun malam. Maka warga pun berinisiatif: ember-ember, drum plastik, dan talang-talang seng mulai berjajar di pekarangan rumah sebagai “infrastruktur darurat” yang menggantikan peran negara.
Padahal, secara hukum, akses terhadap air bersih adalah hak dasar setiap warga negara. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 secara tegas menjamin bahwa “setiap orang berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Lebih lanjut, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa “setiap orang berhak mendapatkan air untuk memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Lebih penting lagi, kewajiban untuk menyediakan layanan itu berada langsung di tangan pemerintah daerah. Dalam Pasal 8 undang-undang yang sama, disebutkan bahwa “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memenuhi kebutuhan pokok atas air bagi rakyat.” Maka jika air tak mengalir dan warga menggantungkan hidup pada curahan hujan, itu bukan hanya kegagalan teknis—melainkan pelanggaran atas mandat konstitusi dan hukum positif negara.
Saya sering mendengar alasan klasik dari pihak PDAM: “Masih dalam perbaikan,” “Debit air menurun,” atau “Ada gangguan teknis.” Tapi kalimat-kalimat itu makin kehilangan makna karena tidak diiringi transparansi dan akuntabilitas. Yang dibutuhkan warga bukan jargon perbaikan, tetapi air yang nyata mengalir ke rumah-rumah mereka. Dan yang lebih mendasar, dibutuhkan keberanian pejabat publik untuk bicara jujur dan bertindak adil.
Air hujan tak bisa menjadi solusi permanen. Sebab keberadaannya hanya musiman, dan kualitasnya tak selalu aman bagi kesehatan. Apakah kita akan terus bergantung pada kemurahan langit, sementara di bumi para pemangku jabatan memilih diam?
Saya menulis ini bukan untuk menyerang siapa pun, tapi untuk mengingatkan: bahwa pelayanan air bersih bukan soal teknis semata, tapi soal keberpihakan pada amanat konstitusi dan nilai kemanusiaan. Jika air bersih saja tak bisa dijamin, maka seluruh narasi tentang pembangunan kehilangan maknanya.
Kota Sanana tidak boleh terus-menerus mengandalkan air hujan sebagai pengganti air PDAM. Pemerintah daerah, khususnya Direktur PDAM, harus sadar bahwa mereka bukan hanya bekerja dengan pipa dan mesin, tapi dengan harapan dan hak hidup masyarakat.
Comment