
Oleh:
Mohtar Umasugi
Saya menulis ini bukan karena benci pada tanah kelahiran saya Kabupaten Kepulauan Sula. Justru karena saya peduli. Karena saya ingin kita semua berhenti menipu diri sendiri dan mulai mengakui bahwa daerah ini sedang tidak baik-baik saja. Kabupaten Kepulauan Sula sedang mengalami komplikasi penyakit yang kronis dan nyata. Tapi sayangnya, kita belum cukup jujur untuk mengakuinya.
Pertama, mari bicara soal ekonomi rakyat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) kabupaten kepulauan Sula bulan maret tahun 2024 mencatat bahwa garis kemiskinan di Kepulauan Sula masih berada pada 485,243, dan jumlah penduduk miskin pada Maret tahun 2024, 8,31%, serta presentasi pendukung miskin pada Maret tahun 2024, 7,96%, dari presentasi tersebut data kemiskinan kabupaten kepulauan Sula berada pada posisi ke tuju ( 7 ) dari sepuluh ( 10 ) kabupaten-kota di wilayah Provinsi Maluku Utara. Dari konteks di atas secara ril pusat perekonomian seperti; pasar tradisional, pasar Basanohi, pasar Makdahi dan pasar maksaira, makin hari makin sepi. Ini bukan hanya karena daya beli yang menurun, tapi juga karena tidak ada perputaran ekonomi yang berarti. Hasil tani dan laut sulit dijual dengan harga layak, sementara barang kebutuhan pokok semakin mahal.
Kedua, dari sisi infrastruktur dasar, situasi di banyak desa masih memprihatinkan. Di wilayah pulau Mangoli, jalan penghubung antar desa dan kecamatan rusak berat bahkan beberapa titik belum ada badan jalan, sulit dilalui kendaraan roda dua apalagi roda empat. Jaringan listrik belum stabil, di hampir semua desa hanya mendapat aliran listrik 6–8 jam sehari. Air bersih? Jangan ditanya. Sebagian besar Warga di desa-desa masih harus menimba air dari sumur.
Ketiga, kita menghadapi masalah serius dalam pelayanan publik. Di sektor kesehatan, RSUD Sanana masih kekurangan dokter spesialis, dan rujukan pasien ke Ternate masih jadi opsi utama untuk penyakit menengah dan berat. Di banyak Puskesmas pembantu (Pustu), stok obat sering kosong, dan tenaga medis minim. Di sektor pendidikan, guru honorer masih menunggu kejelasan status, banyak sekolah di desa kekurangan tenaga pendidik tetap.
Keempat, yang lebih mengkhawatirkan adalah budaya birokrasi yang tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Laporan keuangan daerah selalu menunjukkan serapan anggaran tinggi, tapi masyarakat tidak tahu kemana dan untuk siapa dana itu benar-benar digunakan. Partisipasi masyarakat dalam Musrenbang hanya formalitas, dan kebijakan strategis lebih sering ditentukan di ruang-ruang tertutup.
Namun sayangnya, suara kritis seperti ini sering dianggap ancaman.
Mereka yang bersuara disebut oposan, pembangkang, atau “tidak tahu terima kasih.” Padahal kita hanya ingin pemerintah dan pemangku kepentingan berhenti berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Kejujuran bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menyembuhkan.
Sebagaimana disampaikan oleh tokoh bangsa, Nurcholish Madjid, “Kemajuan tidak bisa dibangun di atas kepalsuan, karena masyarakat yang hidup dalam kepalsuan hanya akan bergerak di tempat.” Maka izinkan saya bertanya: sampai kapan kita terus menyangkal kenyataan ini?
Kabupaten Kepulauan Sula sedang sakit, dan kita semua tahu itu. Tapi yang lebih menyakitkan adalah sikap tidak jujur kita sendiri. Selama kita terus menutupi luka dengan kosmetik narasi pembangunan, selama itu pula rakyat tetap menderita dalam diam.
Saatnya kita berubah. Mulai dari kejujuran, dari pengakuan bahwa ada yang salah, dan dari keberanian untuk memperbaikinya. Bukan esok, tapi sekarang. Karena cinta sejati tidak hanya memuji yang baik, tapi juga berani menunjuk yang salah demi perbaikan.