Transtimur.com – Kementerian ATR/BPN menetapkan empat zona ruang rawan bencana untuk memetakan wilayah-wilayah rawan bencana di Indonesia. Untuk area dengan kerawanan paling tinggi atau Zona Merah, tidak akan bisa dikeluarkan sertifikatnya dan kalaupun ada yang mendaftarkan akan langsung dibatalkan.
Seperti yang dialami warga RT06, Kelurahan Tobololo, Kecamatan Kota Ternate Barat, Kota Ternate, Maluku Utara, Mirna yang terus mendapat penolakan saat melakukan pengajuan berkas pembuatan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Ternate.
“Saat pegawai kelurahan antar berkas ke kantor ATR/BPN, berkas itu ditolak dengan alasan pemukiman kami berada dalam zona merah atau dekat gunung gamalama. padahal dilokasi kami tidak pernah terkendala dampak erupsi gunung gamalama hingga saat ini,”kata Mirna kepada Transtimur.com, Senin (28/6/2021).
Mirna mengatakan, rumahnya yang dibangun sejak tahun 2013, itu tepat diatas tanah yang saat ini dalam proses sertifikat yang ditolak BPN. meski sudah 9 tahun bangunan rumah itu berdiri diatas tanah yang tak bersertikan tapi tetap saja ditolak BPN dengan alasan Zona merah. Harusnya pihak ATR/BPN turun langsung ke lokasi untuk melihat situasi tanah kami, pungkas Mirna.
Hal yang sama juga disampaikan oleh, Hut Abu bakar, bahwa pihaknya sudah berapa kali mendapat penolakan pembuatan sertifikat tanah yang sudah ia bangun rumah sejak 2016 lalu. Alasan BPN juga sama yakni tanah kami masuk dalam zona merah. alhasil hingga saat ini dirinya bersama Mirna belum mengantongi sertifakt atas hak kepemilikan tanah mereka.
“Saya proses sertifikat di kelurahan dan pihak kelurahan bilang berkas saya juga ditolak dengan alasan tanah atau lokasi kami berada dalam zona merah erupsi gunung berapi,”keluhnya.
Disisi Lain Lurah Tobololo, Bakar Kasim, saat dikonfirmasi via telpon seluler, selasa (29/6/2021), membenarkan bahwa, bangunan rumah dilingkungan RT 06 yang belum miliki sertfikat bukan hanya Mirna dan Hut Abubakar tetapi ada sekitar 37 rumah yang tanahnya tidak besertifikat.
“Memang ada sekitar 37 rumah di RT.06 yang belum ada sertifikat karena wilayah RT06 masuk dalam wilayah zona merah,”ungkap Bakar Kasim
Sebelumnya kata Bakar, ia selaku pimpinan di Kelurahan tersebut berniat mengurus sertifikat tanah milik warganya. bahkan pihaknya sudah melakukan pendataan nama-nama yang ingin mengurus sertifikat tanah melalui Program penyuluhan pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL) pada tahun 2019.
Dan dari Dinas kehutanan dan BPN turun survei lokasi, dimana mereka mengatakan areal lahan pemukiman warga berada pada zona merah gunung berapi makanya berkas yang pihaknya usulkan di kembalikan oleh BPN.
“Jadi, yang menentukan lokasi zona merah bukan dari kelurahan melainkan dari BPN dan kehutanan sendiri,”tukasnya.
Bakri sesalkan sikap BPN dan Kehutanan Provinsi Malut yang menetapkan bahwa 37 rumah yang dibangun diatas tanah yang belum bersertifikat di RT06 sebagai Zona merah tanpa ada pemebritahuan atau tidak di dinformasikan dari jauh-jauh hari agar warganya tidak membangun rumah diatas lahan atau tanah tersebut. Zona merah ini ditetapkan pada tahun 2019 kemarin.
“Jadi saya tegaskan lagi, bahwa pernyataan atau penetapan lokasi RT 06 itu masuk dalam zona merah itu bukan dari saya tetapi dari BPN dan Dinas kehutanan. Sebab saya hanya pelayan masayarakat tidak mungkin mengabaikan kebutuhan waga saya,”tegas Bakri. (ril)
Komentar