
Oleh:
Mohtar UmasugiÂ
Kopi hitam pagi ini kembali saya teguk, tanpa gula, tanpa kue, tapi penuh getir. Di tengah aroma robusta lokal yang menggoda, saya duduk merenung: rakyat Kepulauan Sula sedang susah, tapi DPRD kita justru memilih bungkam. Diam seribu bahasa. Seolah tak lagi punya urat malu untuk mendengar jeritan rakyat.
Hari-hari ini, kehidupan masyarakat makin terhimpit. Harga bahan pokok melonjak, daya beli masyarakat menurun, dan pengangguran kian meningkat. Banyak anak muda lulusan SMA dan sarjana terpaksa menganggur, membuka warung seadanya, atau merantau karena tak ada peluang kerja yang tersedia di daerah sendiri. Tapi yang paling menyakitkan adalah diamnya DPRD saat harapan ribuan pencari kerja digantung tanpa kejelasan dalam proses seleksi PPPK.
Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahap 1 tahun 2024 dan tahap 2 tahun 2025 telah selesai dilaksanakan. Para peserta sudah melalui tahapan tes dengan harapan besar—bukan hanya untuk memperoleh pekerjaan, tapi juga untuk bisa mengabdi di kampung halamannya. Namun hingga hari ini, tidak ada kejelasan nasib mereka. Pengumuman hasil tes entah tertahan di mana. Apakah karena persoalan anggaran? Atau sekadar kelalaian birokrasi?
Yang jelas, akhir-akhir ini tidak satu pun anggota DPRD bersuara. Tidak ada inisiatif rapat dengar pendapat. Tidak ada tuntutan kepada pemda untuk menjelaskan keterlambatan ini. Padahal, urusan rekrutmen tenaga kerja yang menyangkut masa depan ribuan keluarga adalah isu strategis yang seharusnya menjadi perhatian serius wakil rakyat.
Ini bukan hanya soal pekerjaan. Ini soal keadilan dan kepercayaan publik. Apakah mereka yang lolos tes akan benar-benar diangkat? Apakah ada jaminan anggaran tersedia? Ataukah seleksi ini hanya sandiwara belaka untuk meredam harapan sesaat?
Kondisi seperti ini tentu memperparah krisis ekonomi lokal. Ketika generasi muda kehilangan harapan, daerah kehilangan masa depan. Dan ketika DPRD tak bersuara, maka kita kehilangan institusi yang seharusnya menjadi pelindung aspirasi.
Sayangnya, kebungkaman DPRD bukan hanya soal PPPK. Mereka juga diam dalam banyak isu strategis:
Sudah dilakukan pergantian direktur PDAM, tapi soal air bersih yang tak mengalir normal bahkan mati total di sebagian rumah warga dalam kota Sanana belum dapat terjawab, Pelayanan listrik yang belum stabil dari PLN yang merugikan warga dan pelaku usaha, Tidak ada lapangan kerja untuk menyerap Angka pengangguran yang terus naik Hingga soal pembahasan anggaran yang tak transparan dan mengabaikan efisiensi serta kepentingan rakyat bawah.
Lalu, apa yang sesungguhnya sedang mereka bahas di dalam ruang sidang itu? Mengapa tak ada satu pun fraksi yang berdiri lantang untuk menuntut kejelasan nasib rakyat?
Sebagai rakyat biasa, saya hanya bisa menulis dan menyeduh kopi setiap pagi sambil bertanya-tanya: masihkah mereka pantas disebut “wakil rakyat”?
Kopi saya pagi ini memang pahit. Tapi kepahitan yang lebih dahsyat adalah saat lembaga pengawasan seperti DPRD tak lagi punya nyali untuk bersuara. Bungkam di hadapan krisis, diam di tengah keresahan, dan seolah hidup di dunia yang berbeda dari rakyat yang memilih mereka.
Kalau diam sudah menjadi pilihan, maka kelak sejarah akan menulis mereka sebagai bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi.
Comment