
Oleh : Mohtar UmasugiÂ
Tidak terasa, Kabupaten Kepulauan Sula kini telah genap berusia 22 tahun sejak resmi dimekarkan dari Kabupaten Maluku Utara pada tahun 2003. Di berbagai titik desa dan kota, agenda perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten berlangsung meriah. Bendera berkibar, panggung budaya berdiri, pawai, dan festival rakyat terselenggara dengan antusiasme masyarakat. Namun sebagai bagian dari anak negeri ini, saya ingin mengajak semua pihak untuk tidak semata terjebak dalam euforia seremonial belaka, tetapi mulai menyuburkan tradisi refleksi dan evaluasi capaian pembangunan daerah.
Tiap tahun, geliat perayaan HUT daerah selalu menyita perhatian dan menguras anggaran. Dalam catatan Laporan Realisasi Anggaran (LRA) Pemerintah Daerah tahun-tahun terakhir, kegiatan seremonial memakan porsi cukup besar dalam pos belanja publikasi, konsumsi, hingga pengamanan acara. Belum lagi kontrak kerja sama media yang tidak sedikit nilainya. Tetapi pertanyaan mendasarnya adalah: apakah perayaan ini sebanding dengan kemajuan yang kita raih selama dua dekade lebih?
Masyarakat patut merayakan hari jadi daerahnya, namun saya percaya semangat perayaan harus dikawal oleh semangat pengukuran capaian. Seremonial tanpa indikator hanya akan memperpanjang ilusi keberhasilan.
Secara empiris, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Kabupaten Kepulauan Sula dalam lima tahun terakhir cenderung fluktuatif. Tahun 2023, laju pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 2,1%, masih di bawah rata-rata provinsi. Kontribusi sektor primer—khususnya pertanian dan perikanan—masih dominan, tetapi belum didukung dengan industrialisasi berbasis potensi lokal. Padahal kita memiliki laut yang luas dan potensi hutan yang besar di Mangoli dan Sulabesi.
Dari sisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), posisi Kepulauan Sula masih berada di papan bawah wilayah Maluku Utara. Angka partisipasi sekolah menengah dan akses terhadap layanan kesehatan dasar masih menjadi pekerjaan rumah besar. Apalagi persoalan infrastruktur dasar seperti jalan rusak, listrik belum merata, dan kelangkaan BBM seperti minyak tanah kerap menghantui masyarakat.
Jika kita bercermin pada RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah), maka seharusnya pada usia 22 tahun ini, kita telah menyentuh indikator kemandirian fiskal minimal 25%. Namun faktanya, lebih dari 80% APBD masih bergantung pada transfer pusat (DAU dan DAK). Ini menandakan bahwa kemandirian daerah belum benar-benar terbangun, dan semangat otonomi belum sepenuhnya membuahkan hasil.
Saya percaya usia 22 tahun adalah momentum transisi dari “masa muda” ke fase dewasa dalam umur kabupaten Kepulauan Sula. Kini saatnya pemerintah daerah, legislatif, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil bersatu membangun peta jalan baru ( roadmap ). Kita tidak bisa lagi hanya menumpang pada jargon, atau menjadikan rutinitas tahunan sebagai indikator keberhasilan.
Sudah saatnya kita mengedepankan politics of ideas dalam tata kelola daerah: membahas model pembangunan maritim yang berkelanjutan, reformasi layanan publik, memperkuat kapasitas kelembagaan desa, hingga mempercepat transformasi digital di sektor pendidikan dan ekonomi rakyat.
Akhirnya, saya tidak mengingkari pentingnya perayaan HUT Kabupaten. Ia adalah medium menjaga memori kolektif dan menyuburkan kebanggaan daerah. Tetapi lebih dari itu, mari jadikan setiap perayaan ulang tahun sebagai momentum reflektif—untuk bertanya, sejauh mana kita telah memenuhi janji-janji pemekaran? Sejauh mana kita mengisi pemekaran sebagai tanggung jawab sejarah yang diperjuangkan oleh para leluhur ? Sudahkah keadilan sosial dirasakan hingga pelosok desa?
Usia 22 tahun bukan lagi waktu untuk sekadar gembira, tetapi momentum untuk berhenti sejenak, menoleh ke belakang, dan mengatur langkah ke depan dengan lebih visioner dan terukur.
“Dirgahayu ke 22 Tahun Kabupaten Kepulauan Sula, Mai La Tayana Hai Do Yafai, Dad Hia Tes Sua”.