Oleh Fahrudin Panigfat, Ketua MUB-Jaksel
Pribumi Sula hidup dalam dunia nyata yang penuh dengan ketidaksempurnaan. Sepanjang waktu, manusia terus berikhtiar untuk mencapai yang baik dan mengurangi yang buruk. Namun, kesempurnaan hanya ada di dunia ide. Demi terlaksananya komoditi prioritas yang menjadi tulang punggung pemasukan Negara, kita harus bermimpi dengan mata yang terbuka.
Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alam. Sula adalah bagian dari Indonesia, dan tambang sudah menjadi kebutuhan yang tak terhindarkan. Menolak tambang di Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, seperti menolak realitas.
Kenapa demikian? Keberadaan teknologi telah mempengaruhi masyarakat dan lingkungan di sekitarnya seiring dengan perkembangan zaman. Teknologi mampu membantu berbagai aspek kehidupan, termasuk ekonomi.
Teknologi adalah penerapan pengetahuan ilmiah untuk tujuan praktis dalam kehidupan manusia atau perubahan dan manipulasi lingkungan manusia.
Smartphone yang kita gunakan untuk berkomunikasi adalah produk tambang. Listrik yang kita pakai juga berasal dari tambang. Nyaris semua aktivitas manusia bersentuhan dan membutuhkan produk tambang.
Tambang adalah tuntutan peradaban; menolak tambang berarti menghentikan peradaban itu sendiri. Namun, siapa yang memegang otoritas untuk menolak tambang?
Kita telah mengikuti peradaban ini, kita membutuhkan semen, kawat, besi, dan berbagai produk tambang lainnya yang kita konsumsi. Lalu, apa alasan kita menolak tambang, terutama PT. Indo Mineral, yang memiliki wilayah konsesi seluas 24.440,81 hektar, meliputi Kecamatan Mangoli Selatan dan Kecamatan Mangoli Barat?
Menolak PT Indo Mineral dengan alasan bahwa aktivitas tambang akan membawa dampak kerusakan alam yang nantinya akan berimbas pada pemukiman warga di sekitar area konsesi.
Memang benar bahwa setiap pembangunan akan menyebabkan kerusakan alam. Membangun infrastruktur jalan, membakar lahan untuk berkebun, dan membangun rumah pasti akan merusak alam. Namun, rumah, jalan, dan kebun adalah kebutuhan yang harus dipenuhi dengan mematuhi persyaratan untuk pemulihan lingkungan.
Pertambangan juga pasti akan merusak alam, tapi dibutuhkan manusia. Ijin usaha pertambangan harus tetap dijalankan dengan memenuhi persyaratan, seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tanggung jawab Corporate Social Responsibility (CSR), dan pengelolaan pasca tambang.
Saat ini, Undang-undang Cipta Kerja, Corporate Social Responsibility (CSR), dan AMDAL sangat ketat dan mengharuskan perusahaan tambang memberikan dana untuk memulihkan kembali lahan yang sudah digali, memperhatikan masyarakat di sekitar tambang, serta mengurangi pengangguran di Kabupaten Kepulauan Sula.
Namun, masih ada pertanyaan mengapa CV. Samalita Perdana Mitra terus beroperasi hingga saat ini, ada apa?, ini kana perjuangan yang dipertanyakan di punlik saat ini.
Reformasi (Tertib) yang berjuang menjadi wakil rakyat, yang berjuang menjadi wakil partai dan yang berjuang untuk merebut kekuasaan.
Sebatas Informasi yang nantinya menjadi bahan pertimbangan untuk didiskusikan . Sebagai Contoh Desa Waitina Kecamatan Mangoli Timur Kabupaten Kepulauan Sula, Ketika Memaksakan Tambang Beroperasi Sama hal nya juga dengan Menolak Realitas. Kehidupan Alam yang harus dijaga seperti Kejernihan Sungai agar tidak tercemar oleh LIMBAH, dalam Konteks AMDAL perlu memperhatikan juga kondisi dibelang Pemukiman warga (Kampung) Desa Waitina terdapat beberapa Sungai diantaranya, Suanggi (Wai Banggo, Wai Gafu, Wai Sagonggo, Wai Ika, Wai Neno, Wai Kasakilo) , yang berdekatan juga dengan Kebun dan Tanaman Masyarakat berupa; Cengkeh, Pala, Kelapa, Bahkan Coklat (Kakao) . Dalam Setiap Aktivitas Masyarakat ke Perkebunan atau ketanamaman Masyarakat selalu menjadikan Sungai tersebut sebagai Sumber Air kedua setelah Sumur Warga di perkampungan untuk dikonsumsi. Disisi lain aliran sungai itu masyarakat juga gunakan untuk membantu memproduksi SAGU. Hal ini juga menjadi Realitas kehidupan sehari-hari Masyarakat Desa Waitina. Persoalan Peradaban perlu juga di pertegas dalam konteks apa yang dimaksud sebab kami di desa Waitina pernah mengalami BANJIR BANDANG Di Tahun 88-89 Pasca Pengoperasian Perusahaan Kayu Bulat yang menyebabkan ribuan Tanaman Masyarakat Rusak Parah . Bisa cek kebenaranya dilapangan. Begitu banyak hal yang perlu diperhatikan khususnya di desa waitina .
Saudara Fahrudin Panikfat. Sering jalan2 ke mangoli Timur dan coba buka diskusi mengenai perkembangan teknologi dan izin pertambangan yang harus di jalankan.