Oleh: Mohtar Umasugi
Pagi hari di sebuah warkop kecil di sudut kota Sanana, aroma kopi hitam menyeruak di antara percakapan santai beberapa kawan lama dan para pegiat kopi pagi. Dari obrolan ringan yang mengalir tanpa pretensi, lahirlah refleksi sederhana yang kemudian memantik renungan mendalam: bahwa hidup, sejatinya, adalah pertemuan antara mindset dan realitas.
Diskusi lepas di warkop itu mengingatkan saya bahwa setiap orang memiliki mimpi besar tentang masa depannya. Namun sayangnya, tidak semua berani menapaki jalan menuju mimpi itu. Banyak di antara kita yang berpikir besar tapi bertindak kecil, bermimpi tinggi tapi berjalan di tempat. Inilah paradoks kehidupan yang sering kita hadapi — antara keinginan untuk berubah dan keberanian untuk bertindak.
Mindset adalah ruang gagasan di kepala kita, sedangkan realitas adalah cermin dari apa yang benar-benar kita lakukan. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Bila cara berpikir kita sempit, maka realitas hidup pun ikut mengecil. Sebaliknya, bila pola pikir kita terbuka dan berani menantang kebiasaan lama, maka realitas akan bergerak menuju arah yang lebih baik.
Dalam perjalanan hidup dan pengamatan sosial saya, banyak anak negeri kehilangan peluang bukan karena mereka tidak mampu, tetapi karena mindset mereka tidak siap menghadapi realitas. Mereka terlalu sibuk membangun citra, bukan kapasitas. Sibuk mencari pengakuan, bukan pengalaman. Akibatnya, lahirlah generasi yang cepat puas dengan pencapaian semu, tapi takut menghadapi ujian nyata kehidupan.
Diskusi di warkop pagi itu pun mengalir ke topik yang lebih luas — tentang kondisi sosial dan politik di daerah. Di Kepulauan Sula misalnya, mindset masyarakat seringkali masih terjebak dalam budaya seremonial. Kita cenderung menilai pemimpin dari penampilan dan janji, bukan dari gagasan dan kerja nyata. Padahal, perubahan tidak akan datang dari pencitraan, tetapi dari keberanian mengubah pola pikir bersama.
Inilah realitas yang harus kita akui: banyak program pembangunan yang berjalan, namun dampaknya tidak terasa karena mindset birokrasi dan masyarakat belum bertransformasi. Kita masih lebih senang melihat seremonial ketimbang substansi, lebih menikmati tepuk tangan daripada hasil nyata.
Kopi pagi ini mengajarkan satu hal: hidup tidak hanya tentang berpikir positif, tetapi tentang berani menghadapi kenyataan. Setiap tegukan kopi mengingatkan bahwa keseimbangan itu penting — seperti rasa pahit dan manis yang harus berdampingan. Begitu pula hidup: mindset dan realitas harus berjalan beriringan. Tanpa mindset yang benar, tindakan menjadi buta; tanpa tindakan nyata, mindset hanyalah mimpi kosong.
Sambil menatap gelas kopi yang mulai dingin, saya kembali teringat percakapan hangat di warkop tadi pagi. Seorang kawan menutup diskusi dengan kalimat sederhana namun tajam:
“Hidup ini bukan tentang seberapa sering kita bermimpi, tapi seberapa berani kita mengubah kenyataan.”
Mungkin dari warkop-warkop sederhana seperti itu, kesadaran besar lahir — bahwa perubahan negeri ini dimulai dari cara kita berpikir dan berani menghadapi realitas dengan kepala tegak.












