Oleh: Mohtar Umasugi
Setiap kali pagi menyapa, aroma kopi bukan sekadar penanda dimulainya hari, melainkan juga ruang refleksi yang jujur terhadap realitas negeri ini—Kepulauan Sula. Dalam keheningan pagi, saya sering bertanya pada diri sendiri: apa yang sebenarnya sedang kita wariskan kepada generasi setelah kita? Apakah kita mewariskan negeri yang tumbuh dalam kemajuan, atau justru meninggalkan warisan kepahitan dari kelalaian dan ketidaktegasan kita sendiri?
Kini, ketika menatap wajah Sula hari ini, yang tampak bukan hanya keindahan alam dan pesisirnya, melainkan pula potret buram yang terbingkai di antara ketimpangan pembangunan, kemiskinan yang membelenggu, serta lemahnya tata kelola pemerintahan. Jalan-jalan berlubang, fasilitas publik yang terbengkalai, pelayanan dasar yang belum merata—semuanya menjadi simbol konkret dari warisan sosial yang tak kunjung diperbaiki.
Secara empiris, berbagai media lokal mencatat bagaimana beberapa sektor strategis di Sula masih berjalan tanpa arah kebijakan yang jelas. Dari penataan ruang kota Sanana hingga pengelolaan sumber daya alam di Mangoli, semuanya seperti berjalan dengan autopilot birokrasi yang kehilangan kompas moral. Transparansi anggaran publik masih lemah, sementara praktik proyek infrastruktur kerap dikaitkan dengan dugaan penyimpangan.
Masalah ini bukan hanya teknis, melainkan juga moral dan struktural. Ketika pejabat publik kehilangan kesadaran etik dalam mengelola amanah, maka yang rusak bukan hanya jalan dan gedung, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Data sosial ekonomi memperlihatkan masih tingginya tingkat pengangguran terbuka dan rendahnya daya beli masyarakat. Sektor perikanan, pertanian, dan perdagangan lokal belum mendapat dukungan optimal dari kebijakan pemerintah. Ironinya, potensi besar laut dan hutan kita justru lebih banyak dinikmati oleh pihak luar dibanding masyarakat lokal sendiri.
Warisan ekonomi seperti ini berpotensi melahirkan generasi muda yang teralienasi dari tanahnya sendiri—bekerja keras namun tak pernah merasa memiliki hasil pembangunan.
Sektor pendidikan yang seharusnya menjadi ruang peradaban justru terjebak dalam rutinitas administratif. Banyak guru dan siswa berjuang dengan fasilitas terbatas, sementara mutu pembelajaran berjalan stagnan. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah kita sedang menyiapkan generasi pembelajar atau sekadar pewaris ketimpangan?
Sebagian anak negeri mulai kehilangan keyakinan bahwa sekolah adalah jalan perubahan. Padahal, pendidikan adalah instrumen kunci untuk mengubah wajah buram menjadi terang—jika dikelola dengan visi dan kesungguhan.
Sula seolah kekurangan pemimpin yang benar-benar memiliki pandangan jangka panjang. Banyak kebijakan berhenti di tataran seremonial tanpa keberlanjutan program. Padahal, daerah ini membutuhkan pemimpin yang tidak sekadar berani tampil, tetapi berani berpikir jauh ke depan—membangun Sula dengan orientasi keberlanjutan dan kesejahteraan sosial.
Pemimpin visioner bukan yang sibuk membangun pencitraan, melainkan yang berani menegakkan etika birokrasi, merumuskan arah pembangunan berkeadilan, dan mewariskan sistem yang bekerja untuk rakyat, bukan untuk kepentingan politik sesaat.
Sula hari ini adalah cermin dari pilihan-pilihan kita di masa lalu. Bila potret yang tampak masih buram, maka kita semua—pemerintah, masyarakat, dan intelektual muda—memikul tanggung jawab moral untuk memperbaikinya. Jangan sampai anak negeri hanya mewarisi cerita pahit tentang janji-janji pembangunan yang tak kunjung ditepati.
Kopi pagi ini bukan sekadar minuman, melainkan ajakan untuk berpikir jernih. Bahwa setiap tegukan refleksi seharusnya menggerakkan kesadaran kolektif: apa yang kita wariskan kepada masa depan negeri ini, jika hari ini kita tak berbuat apa-apa?












