
Oleh: Mohtar Umasugi
Akademisi STAI
Belum usai publik mencerna berbagai persoalan pelik di Kabupaten Kepulauan Sula—dari stagnan pertumbuhan ekonomi, kota Kumuh, kelangkaan BBM, buruknya infrastruktur dasar, hingga dugaan korupsi di beberapa instansi—dua hari ini ruang-ruang media massa lokal kembali dikejutkan oleh kabar yang lebih mencengangkan: pengunduran diri seluruh dokter di RSUD Sanana. Sebuah berita yang tidak hanya mengejutkan, tetapi juga mengguncang nalar kemanusiaan dan mempermalukan sistem pelayanan publik yang selama ini dibanggakan dengan basa-basi.
Dalam konteks sosial-politik lokal, peristiwa ini bukan hanya soal mundurnya sekelompok tenaga medis. Ini adalah simbol puncak dari gunung es krisis tata kelola daerah. Seakan ingin menyampaikan bahwa ketika masalah lama belum tuntas ditangani, kita justru dihadapkan dengan bom waktu baru yang jauh lebih genting: hancurnya sistem pelayanan kesehatan.
Publik tentu bertanya: mengapa seluruh dokter memilih langkah ekstrem ini? Jawabannya tidak sesederhana yang dibayangkan. Ini bukan soal gaji semata. Ini adalah akumulasi dari berbagai masalah struktural yang dibiarkan mengendap begitu lama, seperti tidak adanya kejelasan status kepegawaian, tunggakan pembayaran jasa pelayanan, minimnya perlindungan profesi, dan relasi kerja yang jauh dari semangat profesionalisme.
Apa yang terjadi di RSUD Sanana adalah buah pahit dari tata kelola yang buruk dan kultur birokrasi yang abai terhadap kualitas layanan. Ketika aspirasi tenaga medis tak pernah digubris, ketika kondisi kerja tak memenuhi standar keselamatan dan kenyamanan, maka pilihan terakhir yang tersisa hanyalah: mengundurkan diri.
Ironisnya, pengunduran diri ini terjadi di tengah masih banyaknya masalah lama yang belum diurai. Ketersediaan obat-obatan yang minim, keterlambatan rujukan karena fasilitas transportasi yang tidak layak—semuanya belum selesai. Belum lagi persoalan klasik seperti antrean panjang, pelayanan lambat, dan alat medis yang tidak berfungsi optimal.
Di saat masyarakat menanti pembenahan, justru yang terjadi adalah eksodus tenaga medis. Bukankah ini menunjukkan bahwa sistem kita sedang gagal total?
Saya harus bertanya secara jujur: di mana peran negara dalam hal ini, terutama pemerintah daerah yang memiliki kewenangan langsung? Apakah tanggung jawab hanya selesai dengan pernyataan “sedang dikaji” atau “akan dikoordinasikan”? Ini bukan saatnya bersembunyi di balik kalimat diplomatis. Ini saatnya mengakui bahwa RSUD Sanana berada di ambang kolaps akibat kegagalan manajerial yang terus dibiarkan.
Fakta bahwa seluruh dokter sampai memilih mundur serentak menandakan tidak adanya ruang dialog yang sehat antara pihak manajemen, pemerintah daerah, dan para tenaga medis. Ini bukan sekadar miskomunikasi, ini adalah disfungsi struktural.
Jangan lupa bahwa yang paling dirugikan adalah masyarakat bawah. Mereka yang tak punya akses ke rumah sakit luar daerah, mereka yang menggantungkan harapan pada RSUD Sanana untuk pelayanan kesehatan dasar. Dalam kondisi ini, siapa yang akan menangani ibu hamil darurat? Siapa yang akan melayani pasien stroke, penderita diabetes, atau anak-anak dengan infeksi saluran pernapasan. Pemerintah tak bisa tinggal diam. Harus ada tindakan cepat, transparan, dan berpihak pada publik.
Sebagai warga Kepulauan Sula, saya menilai inilah momentum refleksi mendalam bagi seluruh pihak—terutama elite daerah—bahwa pelayanan kesehatan bukan komoditas politik. Ini menyangkut hak dasar warga negara yang dijamin oleh konstitusi. RSUD bukan tempat main-main. Rumah sakit adalah institusi kemanusiaan. Ketika orang-orang terbaiknya memilih pergi, itu artinya ada yang sangat salah dalam cara kita mengurus daerah ini.
Sudah saatnya Bupati turun langsung, bukan sekadar membentuk tim. Sudah waktunya DPRD menjalankan fungsi pengawasan secara nyata, bukan hanya bersuara di panggung sidang. Dan yang terpenting: sudah waktunya kita semua, sebagai bagian dari masyarakat sipil, mendorong perbaikan.
Comment