
Oleh:
Mohtar Umasugi
Kopi pagi ini terasa lebih pahit dari biasanya, bukan karena campuran biji robusta yang terlalu pekat, melainkan karena pemandangan yang makin sering saya temui di jalanan: motor dan mobil berpelat merah yang seolah menjadi kendaraan pribadi.
Barangkali saya terlalu banyak berpikir saat minum kopi, atau barangkali memang sudah waktunya kita semua bertanya lebih keras: mengapa motor dan mobil dinas negara sering kali berfungsi layaknya motor dan mobil keluarga? Mengantar anak ke sekolah, dipakai belanja ke pasar, liburan akhir pekan, hingga menghadiri acara hajatan yang tak ada kaitannya dengan tugas negara. Padahal, dalam logika sehat dan norma pemerintahan, pelat merah adalah identitas barang milik negara. Artinya, ia milik rakyat, bukan pribadi.
Di warung kopi, orang-orang sering berseloroh, “Itu mobil dinas atau mobil warisan?” Gurauan semacam itu sebenarnya mengandung sindiran tajam. Ada semacam “pembiaran sistemik” yang membuat batas antara milik negara dan milik sendiri menjadi kabur. Dan yang lebih mengkhawatirkan, ini seperti sudah dianggap biasa, lumrah, bahkan sah-sah saja.
Ambil contoh di Kabupaten Kepulauan Sula. Tidak sulit menemukan motor dan mobil pelat merah yang berseliweran di jalan pada hari libur, menuju pantai, menghadiri pesta keluarga, bahkan digunakan istri pejabat untuk arisan. Pernah suatu waktu, mobil dinas yang seharusnya digunakan untuk pelayanan publik di salah satu OPD, justru tampak digunakan secara bebas oleh anggota keluarga pejabat bersangkutan untuk berlibur di wisata tanjung Waka
Kasus serupa juga terjadi saat hari libur, beberapa kendaraan berpelat merah terlihat memuat bahan kebutuhan rumah tangga atau mengantar keluarga pejabat ke pasar. Bahkan ada kendaraan dinas jenis double cabin milik instansi teknis tertentu, yang malah digunakan untuk pulang kampung.
Masyarakat melihat dan mencatat. Tapi karena hal ini terjadi berulang-ulang dan tak pernah ditindak secara serius, muncullah pemakluman yang salah kaprah. Akhirnya, perilaku itu dianggap normal, padahal jelas melanggar prinsip etika pemerintahan.
Dalam birokrasi, jabatan sering datang bersamaan dengan fasilitas. Tapi yang luput disadari adalah bahwa setiap fasilitas negara mengandung tanggung jawab publik. Ketika seorang pejabat atau ASN memanfaatkan motor dan mobil dinas untuk keperluan pribadi, di situlah terjadi pelanggaran etika. Lebih parah lagi jika biaya operasional, perawatan, dan BBM ditanggung oleh APBD.
Pertanyaannya kemudian, apakah jabatan membuat seseorang merasa berhak atas sesuatu yang bukan miliknya? Inilah jebakan kuasa yang kerap muncul dalam struktur birokrasi yang tidak diawasi dengan ketat.
Kita sering bicara soal pelayanan publik, soal transparansi, soal akuntabilitas. Tapi bagaimana mungkin bicara semua itu jika hal paling mendasar—yakni penggunaan aset negara—saja belum ditertibkan?
Dalam perspektif administrasi publik, penggunaan motor dan mobil dinas untuk kepentingan pribadi adalah bentuk maladministrasi. Hal ini bertentangan dengan prinsip efisiensi dan efektivitas dalam penggunaan anggaran negara. Bahkan menurut Pasal 3 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian negara bisa dijerat hukum.
Lebih dari sekadar kerugian materil, praktik ini merusak kepercayaan publik. Ketika rakyat melihat aparatur pemerintah memperlakukan barang milik negara seolah milik pribadi, maka yang lahir adalah rasa muak, sinisme, dan hilangnya harapan terhadap integritas birokrasi.
Tulisan ini bukan ditujukan pada pribadi tertentu, melainkan pada kebiasaan yang kian menjamur. Ini soal budaya birokrasi yang perlu dibenahi, soal etika pejabat yang harus dipulihkan. Sebab bila praktik ini dibiarkan, ia akan menular, membudaya, dan menjadi warisan birokrasi yang korosif.
Saya menulis ini bukan karena benci atau iri pada mereka yang memakai pelat merah, tapi karena cinta pada harapan akan pemerintahan yang bersih dan beretika. Jadi, di tengah hiruk-pikuk pembangunan, mari kita tanyakan dengan jujur: apakah motor dan mobil pelat merah itu kendaraan dinas, atau sudah berubah menjadi milik pribadi?
Kopi pagi ini menyisakan renungan: perubahan tidak selalu dimulai dari kebijakan besar—kadang cukup dengan memarkir motor dan mobil dinas di tempat yang seharusnya.
Comment