
Oleh :
, .
Mahasiswa Pascasarjana UMJ
Provinsi Maluku Utara kini berada di jantung industrialisasi tambang nikel Indonesia. Sejak pertengahan dekade 2010-an, wilayah ini mengalami lonjakan signifikan dalam jumlah Izin Usaha Pertambangan (IUP), terutama di Halmahera.
Data dari Kementerian ESDM (2024) mencatat lebih dari 220 IUP aktif, sebagian besar difokuskan pada nikel yang menjadi komoditas strategis untuk baterai kendaraan listrik. Namun ironinya, proses produksi logam transisi ini menghasilkan emisi karbon dalam jumlah besar terutama melalui pembakaran batu bara di pabrik pengolahan nikel berbasis rotary kiln-electric furnace (RKEF).
Transisi energi global yang didorong oleh kebutuhan akan kendaraan listrik, alih-alih mengurangi jejak karbon secara menyeluruh justru telah mendorong eksploitasi besar-besaran di wilayah-wilayah pinggiran. Laporan dari CREA (2023) menunjukkan bahwa smelter nikel Indonesia menyumbang tingkat emisi karbon yang sangat tinggi, bahkan melebihi rata-rata global. Maluku Utara yang semestinya menjadi kawasan konservasi laut dan darat tropis, berubah menjadi episentrum karbon akibat tumpang tindih antara kebijakan hilirisasi nasional dan absennya mekanisme pengendalian emisi berbasis wilayah.
Dalam situasi tersebut Kepulauan Sula khususnya Pulau Mangoli menjadi titik penting untuk refleksi. Beberapa IUP di Mangoli memang telah diterbitkan namun aktivitas pertambangan belum massif. Berbeda dengan Halmahera yang sudah terjebak dalam siklus ekstraksi dan polusi, Mangoli masih memiliki pilihan strategis antara mengikuti jejak ekspansi pertambangan atau menempuh jalan pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan kapasitas ekologis dan keberlanjutan jangka panjang.
Kritik terhadap kolonialisme kebijakan dalam konteks ini sangat relevan, sebut saja Ha-Joon Chang (2003) menyoroti bagaimana negara berkembang sering kali dipaksa mengikuti logika pembangunan negara maju termasuk model ekstraktif dan industrialisasi yang tidak kontekstual. Bila logika itu diterapkan mentah-mentah di Mangoli, maka yang terjadi bukan pembangunan melainkan peminggiran ekologis dan sosial. Padahal ekosistem Mangoli terdiri dari hutan tropis, kawasan tangkapan air, dan masyarakat adat yang memiliki relasi hidup erat dengan tanah dan laut.
James Ferguson (2006) pernah tegaskan bahwa, proyek pembangunan di wilayah perifer kerap menjadi mekanisme ekstraksi yang disamarkan dengan bahasa kemajuan. Masyarakat lokal jarang dilibatkan secara utuh dalam keputusan besar dan ketika tambang datang mereka hanya menjadi objek relokasi atau tenaga kerja musiman, bukan subjek utama pembangunan. Hal ini menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah Kepulauan Sula agar tidak terjebak pada logika “mengejar investasi” dengan mengabaikan daya dukung ekologis.
Sebaliknya, Mangoli dapat ditawarkan sebagai model alternatif pembangunan rendah karbon untuk wilayah kepulauan di Indonesia. Dengan memperkuat sektor-sektor seperti perikanan berkelanjutan, ekowisata, serta industri kecil berbasis hasil laut dan hutan non-kayu, wilayah ini justru bisa menghasilkan nilai tambah ekonomi tanpa harus menambah jejak emisi karbon nasional. Di sinilah pentingnya mengintegrasikan perspektif keberlanjutan dalam proses pemberian atau evaluasi IUP di wilayah-wilayah yang masih memiliki integritas ekologis tinggi.
Pemerintah pusat dan daerah perlu menetapkan penghitungan emisi karbon sebagai salah satu prasyarat evaluasi dan kelayakan IUP, bukan semata kelengkapan dokumen administratif. Kepulauan Sula bisa menjadi laboratorium kebijakan ekologis nasional sebagai respons terhadap ketimpangan ekologis yang semakin kentara di Halmahera. Ini adalah soal pilihan politik (political wil) bahwa membiarkan Pulau Mangoli mengalami nasib yang sama atau menjadikannya titik awal perubahan paradigma pembangunan pasca ekstraktif di Indonesia Timur.
Penulis ingin menutup dengan “emisi karbon bukan hanya masalah angka atau target internasional, tetapi tentang siapa yang menanggung beban ekologis dari pembangunan”. Indonesia, jika ingin tetap menjadi pemain global dalam transisi energi, harus memastikan bahwa pembangunan rendah karbon tidak menjadi beban baru bagi wilayah-wilayah tertinggal. Pulau Mangoli memberi kesempatan langka untuk merancang kebijakan publik yang tidak hanya berorientasi pada profit, tetapi juga keadilan ekologis dan martabat komunitas lokal.