
Oleh:
Mohtar Umasugi
Pagi ini, sembari menyeruput kopi hitam khas Sula yang harum dan pahitnya menyentak logika, saya tergugah oleh satu pertanyaan sederhana namun mendalam: siapa yang sesungguhnya bertanggung jawab atas keluarnya izin tambang biji besi di Pulau Mangoli?
Dalam beberapa pekan terakhir, di media sosial publik dikejutkan oleh kabar disetujuinya aktivitas pertambangan biji besi di Pulau Mangoli, sebuah wilayah yang selama ini dikenal sebagai paru-paru hijau Kabupaten Kepulauan Sula dan penyangga kehidupan masyarakat. Keputusan ini bukan hanya kontroversial, tapi juga mengancam keberlangsungan ekosistem hutan hujan tropis, sistem air bawah tanah, dan ruang hidup masyarakat lokal.
Sebagai warga yang peduli dan terlibat dalam diskursus pembangunan berkelanjutan, saya merasa perlu menyuarakan keresahan ini. Izin tambang tidaklah lahir dalam ruang hampa; ia adalah produk dari keputusan politik. Maka, sebagai kepala daerah, Bupati Kepulauan Sula tidak bisa cuci tangan dalam perkara ini. Ia harus bertanggung jawab secara moral, ekologis, dan administratif atas potensi kerusakan lingkungan yang bisa terjadi.
Menurut Prof. Dr. Ir. Soemarwoto Otto (almarhum): Pakar ekologi dan pelopor gerakan lingkungan hidup di Indonesia, “eksplorasi tambang biji besi di pulau kecil akan membawa dampak ekologis jangka panjang, terutama terhadap keseimbangan hidrologi dan kehilangan keanekaragaman hayati. Aktivitas tambang bisa mengganggu mata air, mempercepat erosi, dan meningkatkan sedimentasi yang merusak terumbu karang.” Ini bukan ancaman spekulatif; dampak ini nyata dan terukur.
Lebih dari itu, tambang bukan sekadar urusan ekonomi. Ia menyangkut aspek keberlanjutan generasi. Apakah kita ingin mewariskan tanah gersang dan laut tercemar kepada anak cucu kita hanya demi PAD (Pendapatan Asli Daerah) yang tidak seberapa dan dinikmati segelintir elite?
Sebagai catatan kritis, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan mensyaratkan bahwa setiap kegiatan tambang harus melewati kajian Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang ketat dan partisipatif. Tapi apakah masyarakat Pulau Mangoli pernah diajak bicara? Apakah ada dialog terbuka yang mempertemukan pemerintah, investor, masyarakat adat, dan akademisi sebelum izin itu keluar?
Dan di sinilah peran DPRD Kabupaten Kepulauan Sula seharusnya hadir. Jangan diam! Anda bukan tamu dalam demokrasi ini. Anda adalah wakil rakyat yang dipilih untuk menjadi corong suara masyarakat, bukan perpanjangan tangan kepentingan eksekutif maupun pemilik modal. Diamnya DPRD di tengah kegelisahan rakyat sama saja dengan pengkhianatan terhadap amanah konstitusional.
Kepada seluruh anggota DPRD, dengarlah suara dari pesisir Mangoli, dari para petani dan nelayan, dari anak-anak muda yang mencintai tanah kelahiran mereka. Suara mereka menolak perusakan ekologis yang dilegalkan atas nama “investasi.” Anda punya wewenang untuk mengawasi, untuk memanggil kepala daerah, untuk mengajukan hak interpelasi, bahkan jika perlu, membentuk panitia khusus (pansus lingkungan hidup) untuk mengusut proses pemberian izin tambang ini. Maka jangan bungkam!
Transparansi dan akuntabilitas menjadi barang mahal di tengah proses perizinan yang terkesan tertutup dan dipaksakan. Jika pemerintah daerah, khususnya Bupati, tidak membuka ruang partisipatif dan gagal menjelaskan kepada publik tentang dasar ilmiah dan manfaat sosial-ekologis dari proyek ini, maka sangat layak jika masyarakat menilai: ada kepentingan tersembunyi di balik izin tambang ini.
Saya tidak menolak pembangunan. Tapi pembangunan yang mematikan sumber kehidupan dan merampas hak ekologi warga adalah bentuk kemunduran moral dalam tata kelola daerah. Jika ada narasi bahwa tambang ini akan membuka lapangan kerja, maka kita perlu bertanya: lapangan kerja untuk siapa? Dan dengan konsekuensi apa?
Di titik ini, saya mengajak kita semua—tokoh agama, adat, akademisi, aktivis lingkungan, dan kaum muda—untuk lebih waspada dan terlibat aktif dalam mengawal isu lingkungan hidup. Pulau Mangoli bukan hanya tanah tambang; ia adalah rumah bagi jutaan makhluk hidup dan denyut kebudayaan masyarakat Sula.
Dan kepada Bupati serta DPRD Kepulauan Sula: tanggung jawab kalian akan tercatat dalam sejarah, bukan karena banyaknya investasi yang masuk, tetapi karena keberanian kalian melindungi tanah dan air yang menjadi sumber kehidupan kita bersama.
 Karena kopi pagi ini tak lagi nikmat bila diseduh di atas reruntuhan hutan dan sungai yang mengering.
Comment