
Oleh: Mohtar Umasugi
Di sela pagi yang lengang dan secangkir kopi hitam yang masih mengepul di tangan, pikiran saya melayang ke masa lalu—ke satu tempat yang kini hanya bisa saya kunjungi lewat kenangan: Pulau Pagama. Dulu, pulau itu bukan hanya titik geografis di gugusan Kepulauan Sula. Ia adalah rumah, sejarah, tempat persinggahan bagi sebagian masyarakat yang melintasi jalur timur dan barat, serta saksi bisu budaya pesisir yang sederhana namun hangat. Tapi hari ini, Pagama telah hilang. Tenggelam, pelan namun pasti, oleh abrasi laut yang tak kunjung ditanggulangi.
Ngopi pagi ini bukan sekadar ritual harian. Ia jadi semacam ruang kontemplatif yang memaksa saya merenung: ke mana arah perhatian kita sebagai daerah kepulauan? Bagaimana bisa sebuah pulau—sebuah tanah yang dulu punya kehidupan—tiba-tiba hilang, dan kita semua hanya menyebutnya dalam kalimat masa lalu?
Abrasi laut bukan sekadar fenomena alam yang datang tiba-tiba. Ia adalah akibat dari kelalaian panjang, dari kebijakan pembangunan yang abai pada ekologi pesisir, dan dari minimnya kesadaran kolektif bahwa pulau-pulau kecil seperti Pagama tak selamanya kuat melawan arus, jika tak didampingi perlindungan yang memadai. Di sinilah letak kegagalan kita: kita sibuk membangun dari pusat ibu kota kabupaten namun tidak tampak, berikut lupa bahwa tepi-tepi wilayah kita perlahan menghilang.
Secara ilmiah, abrasi adalah proses pengikisan garis pantai oleh gelombang laut, arus, dan pasang-surut, yang makin parah akibat perubahan iklim, naiknya permukaan air laut, serta kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang. Di Kepulauan Sula, pulau-pulau kecil seperti Pagama sangat rentan karena tak memiliki perlindungan alam yang cukup dan belum menjadi prioritas dalam peta mitigasi bencana.
Hilangnya Pagama harus jadi alarm keras, bukan sekadar catatan sedih. Sebab jika hari ini Pagama tenggelam, esok mungkin menyusul pulau-pulau kecil lain di lingkar pesisir. Ketiadaan kebijakan adaptif terhadap perubahan iklim dan lemahnya tata kelola wilayah pesisir membuat banyak kawasan terancam mengalami nasib serupa.
Pulau Pagama adalah simbol kegagalan perencanaan yang tak berpihak pada pulau-pulau kecil. Padahal, dalam kerangka pembangunan wilayah maritim yang inklusif, seharusnya pulau-pulau kecil ini menjadi titik awal intervensi. Mereka bukan hanya aset geografis, tetapi juga rumah budaya, ekonomi, dan identitas masyarakat kepulauan.
Pagi ini, saya kembali menyesap kopi perlahan. Di dalamnya, saya merasakan pahit yang tak hanya berasal dari bubuk kopi robusta, tapi juga dari kenyataan bahwa tanah tempat orang pernah membangun harapan kini tinggal nama. Pulau Pagama telah tenggelam, namun jangan biarkan kenangannya ikut karam bersama kelalaian kita.
Kini saatnya Pemerintah Daerah Kepulauan Sula duduk serius menata ulang pendekatan pembangunan wilayah. Mitigasi bencana pesisir, rehabilitasi mangrove, serta pendataan pulau-pulau kecil terancam abrasi harus menjadi prioritas. Tidak bisa lagi kita menunggu bencana baru untuk bertindak. Keadilan ekologis dimulai dari mereka yang paling rentan—dari pulau-pulau kecil seperti Pagama.
Mungkin, kita tak bisa mengembalikan Pagama. Tapi kita bisa belajar dari kehilangannya. Kita bisa menulis ulang arah pembangunan, dengan keberpihakan yang jelas pada wilayah pesisir. Karena sejatinya, menjaga pulau kecil adalah menjaga harga diri negeri kepulauan.
Comment