Oleh:
Mohtar Umasugi
Ketika seorang pemimpin daerah menyampaikan visi “BAHAGIA” Bersih, Aman, Hebat, Adil, Giat, Inovatif, dan Agamis masyarakat tentu berharap bahwa visi itu bukan sekadar jargon politik, melainkan janji perubahan yang menyentuh realitas hidup mereka. Di Kabupaten Kepulauan Sula, visi ini digaungkan sebagai arah baru pembangunan. Namun, bagaimana jika kita meninjau visi ini dari perspektif Sanana Ibu Kota Kabupaten yang kini kian menjelma sebagai kota kumuh?
Sanana hari ini memperlihatkan wajah yang jauh dari kata “bersih.” Sampah menumpuk di banyak titik, drainase buruk mengakibatkan genangan di musim hujan, dan fasilitas umum minim perawatan. Dimensi “aman” pun dipertanyakan ketika pemukiman padat tidak dilengkapi jalur evakuasi, sistem penerangan jalan minim, dan lingkungan sosial terkesan tak tertata.
Lalu bagaimana dengan “hebat” dan “adil”? Hebat bukan sekadar pembangunan fisik, melainkan bagaimana kota ini hadir sebagai ruang hidup yang layak bagi semua warganya. Sementara keadilan diuji saat kawasan kumuh terus tumbuh, tanpa solusi sistematis dari pemerintah. Apakah warga miskin di pesisir dan pinggiran kota juga mendapat hak yang sama dalam akses air bersih, pendidikan, dan tempat tinggal yang layak?
Aspek “giat” dan “inovatif” nyaris tak tampak dalam kebijakan perkotaan. Alih-alih melihat penataan kawasan padat penduduk secara terencana, yang terjadi justru pembiaran dan tambal-sulam. Padahal dengan inovasi dan keberanian politik, pemerintah bisa menggandeng akademisi, arsitek kota, hingga mitra swasta untuk merancang penataan ulang Sanana sebagai kota yang manusiawi.
Dan yang terakhir, “agamis” seharusnya bukan hanya seremoni spiritual. Keagamaan sejati juga mencerminkan kepedulian terhadap martabat manusia, termasuk dalam hak atas lingkungan hidup yang sehat dan bersih. Apakah dibiarkannya kemiskinan struktural dan kekumuhan kota sejalan dengan nilai-nilai agamis yang ingin ditegakkan?
Sanana adalah potret nyata: apakah visi “BAHAGIA” hidup atau mati dalam praktik. Jika ibu kota kabupaten saja belum mampu mencerminkan visi itu, bagaimana mungkin masyarakat di pelosok bisa merasakannya?
Saatnya Bupati dan jajaran turun langsung, tidak sekadar dengan retorika, tapi dengan tindakan nyata. Tata ulang Sanana. Wujudkan “BAHAGIA” bukan di spanduk atau baliho, tapi dalam jalan-jalan kota yang bersih, pemukiman yang sehat, dan wajah masyarakat yang benar-benar merasa hidup dalam keadilan dan martabat.
Sanana adalah cermin. Dan cermin ini sedang retak. Mari perbaiki sebelum ia pecah sepenuhnya.
Comment