
Oleh:
Mohtar Umasugi
Koordinator Presidium MD KAHMI Kepulauan Sula
Sebagai bagian dari keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), saya menyimpan optimisme besar terhadap potensi kader-kader HMI dalam mengisi ruang-ruang strategis bangsa. Tak bisa disangkal, banyak alumni HMI hari ini telah menduduki posisi penting di birokrasi, parlemen, hingga institusi-institusi negara. Pencapaian ini tentu menjadi bukti bahwa kaderisasi dan tradisi intelektual HMI mampu melahirkan manusia-manusia unggul.
Namun, di tengah pencapaian itu, ada pertanyaan kritis yang terus mengganggu batin saya sebagai sesama alumni: Mengapa ketika banyak dari kita telah berada dalam lingkar kekuasaan, kritik terhadap kebijakan atau penyimpangan justru dipandang tak etis? Bukankah justru tanggung jawab moral dan intelektual kita sebagai bagian dari corps alumni HMI adalah menjaga integritas kekuasaan itu sendiri melalui koreksi dan pengawasan?
Kritik Bukan Musuh Kekuasaan, Tapi Penjaganya.
Kita diajarkan sejak dini di HMI bahwa kritik adalah bagian dari tanggung jawab keilmuan dan keumatan. Kritik bukan bentuk pengkhianatan, melainkan cermin cinta terhadap perubahan dan kebaikan bersama. Sebagaimana pernah diungkapkan Lafran Pane, pendiri HMI: “HMI tidak didirikan untuk mencari kekuasaan, tapi untuk memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan kebangsaan.” Nilai-nilai itu tidak akan pernah bisa ditegakkan tanpa keberanian menyampaikan kritik.
Sayangnya, hari ini, ketika kritik disampaikan — entah terhadap kebijakan pemerintah daerah, praktik birokrasi yang menyimpang, atau penyalahgunaan wewenang — respons yang muncul justru cenderung represif, bahkan dari kalangan alumni sendiri.
Ironisnya, kritik kini seolah dikonotasikan sebagai serangan pribadi, bukan sebagai kontrol intelektual. Ini menunjukkan adanya pergeseran nilai dalam tubuh sebagian alumni yang kini lebih sibuk menjaga kedekatan dengan kekuasaan daripada menjaga marwah kebenaran.
Ketika Kekuasaan Mereduksi Independensi Intelektual
Tidak semua alumni HMI yang duduk di birokrasi dan politik kehilangan idealismenya. Tapi kita juga tak bisa menutup mata bahwa sebagian justru mulai nyaman dalam sistem, bahkan ikut melanggengkan budaya anti-kritik. Ada rasa canggung — atau bahkan ketakutan — ketika harus mengoreksi sesama alumni yang sedang berkuasa atau berada dalam wilayah kekuasaan.
Padahal, sebagaimana dikatakan Nurcholish Madjid (Cak Nur): “Kritik yang sehat adalah bagian dari semangat reformasi intelektual. Ketika umat takut mengkritik kekuasaan, maka sebenarnya telah terjadi pembusukan dalam akal sehat publik.”
Kita tak bisa membiarkan rasa sungkan mereduksi independensi kita sebagai intelektual dan sebagai bagian dari masyarakat sipil yang sadar akan tugas perubahan.
Di Mana Tanggung Jawab KAHMI?
Sebagai rumah besar alumni, KAHMI seharusnya menjadi ruang yang membebaskan dan memberdayakan. Ruang tempat kritik dirawat, bukan dibungkam. Ketika situasi hari ini menunjukkan bahwa kritik makin dimusuhi, KAHMI harus hadir sebagai penegas kompas moral dan intelektual bangsa.
KAHMI tak boleh larut dalam sikap kompromistis yang mengorbankan prinsip. Mantan Koordinator Presidium MN KAHMI, Mahfud MD, pernah mengingatkan: “Tugas KAHMI adalah menjaga semangat moral dan intelektual dari kader-kader HMI, bukan ikut larut dalam pragmatisme kekuasaan.”
Jika kita hanya jadi perpanjangan tangan kekuasaan, lalu siapa yang akan menjaga marwah gerakan kita dulu? Siapa yang akan membela rakyat ketika suara mereka tak lagi terdengar oleh elite yang katanya pernah menjadi bagian dari gerakan perubahan?
Penutup: Kembali ke Nilai Awal Perjuangan
Kita semua pernah digembleng dalam forum-forum perkaderan dengan semangat kejujuran, keadilan, dan keberanian menyuarakan kebenaran. Kini, saat banyak dari kita sudah berada di tampuk kekuasaan, semangat itu justru diuji. Apakah kita tetap konsisten menjaga nurani? Ataukah kita memilih diam demi kenyamanan?
Saya percaya, masih banyak alumni yang memiliki integritas. Tapi kita membutuhkan keberanian kolektif untuk bicara, untuk mengingatkan, dan untuk mengkritik — bukan demi kepentingan pribadi, tapi demi menjaga warisan intelektual yang telah kita perjuangkan sejak masih mengenakan atribut HMI.
Jika kita gagal menjaga itu, maka jangan salahkan generasi setelah kita bila mereka melihat KAHMI bukan lagi sebagai korps moral, tetapi hanya sekadar klub eksklusif para elite.