Bimtek di Ambon, Pemda Sula Disoroti Publik

Oleh: Mohtar Umasugi 

Dalam setiap pemerintahan daerah, kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) selalu dimaksudkan sebagai langkah untuk memperkuat kapasitas aparatur dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik. Di atas kertas, tujuan itu tentu sangat mulia. Sebab sebuah birokrasi yang efektif tidak hanya ditentukan oleh struktur, tetapi juga oleh kualitas sumber daya manusianya. Namun, pelaksanaan Bimtek Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sula di Ambon baru-baru ini justru menjadi bahan perbincangan publik yang memunculkan beragam tafsir dan spekulasi.

Sebagian masyarakat menilai kegiatan tersebut wajar, karena pembinaan aparatur memang diperlukan. Tetapi tak sedikit pula yang mempertanyakan esensi dan urgensi Bimtek itu di tengah berbagai problem mendasar yang masih dihadapi daerah mulai dari pelayanan publik yang belum optimal, kondisi ekonomi yang stagnan, hingga isu anggaran yang belum dikelola secara efisien. Pertanyaan publik sederhana namun menohok: apa manfaat langsung dari kegiatan Bimtek itu bagi rakyat Sula?

Kritik semacam ini muncul bukan karena masyarakat anti terhadap peningkatan kapasitas aparatur, melainkan karena akuntabilitas pelaksanaan kegiatan pemerintah selama ini sering kali tidak disertai keterbukaan informasi. Akibatnya, ruang publik dipenuhi oleh tafsir liar. Ketika masyarakat tidak mendapatkan penjelasan yang jernih dari pemerintah, maka mereka akan membangun narasi sendiri — dan narasi itulah yang kemudian berkembang menjadi spekulasi sosial.

Salah satu isu yang turut beredar di tengah masyarakat ialah kabar bahwa beberapa peserta Bimtek harus meminjam uang kepada rentenir demi menutupi biaya operasional dan partisipasi selama kegiatan berlangsung di Ambon. Bila kabar ini benar adanya, tentu menjadi sinyal bahwa perencanaan kegiatan belum memperhitungkan aspek kesejahteraan aparatur secara utuh. Bimtek yang seharusnya menjadi wadah peningkatan kompetensi malah meninggalkan beban finansial bagi sebagian peserta. Potret semacam ini tidak hanya ironis, tetapi juga menuntut evaluasi mendalam dari pemerintah daerah agar tidak terulang di masa mendatang.

Dalam konteks etika birokrasi, setiap kegiatan yang menggunakan dana publik semestinya direncanakan dengan prinsip efisiensi, transparansi, dan keadilan. Aparatur tidak seharusnya menanggung beban pribadi untuk kegiatan resmi pemerintah. Bila benar ada peserta yang terpaksa meminjam dana dari rentenir, maka persoalan ini bukan hanya administratif, melainkan juga moral dan sosial. Sebab, di balik angka-angka dalam dokumen APBD, terdapat sisi kemanusiaan yang sering kali luput dari perhatian: pegawai yang berjuang menunaikan kewajiban di tengah keterbatasan ekonomi.

Lebih jauh lagi, publik juga disuguhi isu lain yang mengalihkan perhatian dari substansi kegiatan, yakni kabar adanya “agenda pernikahan” yang dikaitkan dengan pelaksanaan Bimtek di Ambon. Isu semacam ini berkembang cepat dan tanpa kendali, menandakan bahwa komunikasi publik pemerintah masih lemah dalam mengelola persepsi masyarakat. Dalam era keterbukaan informasi seperti sekarang, pemerintah seharusnya tidak membiarkan ruang kosong yang kemudian diisi oleh gosip dan dugaan pribadi.

Pemerintahan yang baik bukan hanya ditentukan oleh sejauh mana program berjalan, tetapi juga oleh bagaimana publik memandang integritas penyelenggaranya. Di sinilah pentingnya komunikasi publik yang transparan dan beretika. Setiap kegiatan, terlebih yang menggunakan uang rakyat, perlu disertai penjelasan terbuka tentang tujuan, manfaat, serta hasil yang diharapkan. Ketika informasi disampaikan dengan jujur dan terbuka, kepercayaan publik pun akan tumbuh secara alamiah. Sebaliknya, ketika informasi tertutup, maka persepsi negatif akan berkembang tanpa batas.

Kita tentu tidak ingin melihat kegiatan Bimtek justru menambah jarak antara pemerintah dan masyarakat. Semestinya, Bimtek menjadi ruang pembelajaran bersama — bagaimana pemerintah daerah menata sistem kerja yang lebih profesional, aparatur belajar mengelola tanggung jawabnya dengan etika, dan masyarakat menilai kinerja birokrasi dengan objektif. Semua pihak memiliki tanggung jawab yang sama: membangun pemerintahan yang bersih, berintegritas, dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Bagi masyarakat Sula, perbincangan tentang Bimtek ini seharusnya menjadi momentum reflektif, bukan sekadar bahan gosip atau konsumsi politik. Kritis boleh, tetapi hendaknya tetap mengedepankan fakta dan niat baik untuk perbaikan. Kita perlu memahami bahwa pemerintahan daerah tidak akan bisa maju tanpa sumber daya manusia yang terlatih. Namun demikian, setiap kegiatan peningkatan kapasitas harus benar-benar berakar pada kebutuhan daerah, bukan sekadar rutinitas administratif yang kehilangan makna.

Di sisi lain, pemerintah daerah juga harus belajar bahwa menjaga persepsi publik sama pentingnya dengan menjalankan roda birokrasi. Kepercayaan adalah modal sosial yang tak ternilai harganya. Tanpa kepercayaan, setiap program sebaik apa pun akan selalu dicurigai, dan setiap langkah akan selalu disalahpahami. Karena itu, pemerintah perlu hadir dengan kejujuran dan komunikasi yang terbuka — bukan hanya dalam laporan kegiatan, tetapi juga dalam sikap keseharian para pemimpinnya.

Akhirnya, Bimtek di Ambon hanyalah satu potret kecil dari dinamika besar yang sedang dihadapi birokrasi Sula. Ia bisa menjadi cermin untuk introspeksi, atau menjadi bara kecil yang menyalakan api ketidakpercayaan publik. Pilihannya ada di tangan pemerintah daerah sendiri. Bila Bimtek benar-benar dijalankan dengan niat tulus untuk memperbaiki kinerja dan pelayanan, maka publik pun akan melihatnya sebagai langkah positif. Namun bila pelaksanaannya penuh misteri dan minim transparansi, maka yang tersisa hanyalah rumor, spekulasi, dan sinisme.

Sebagai masyarakat Sula, kita tentu ingin melihat pemerintah daerah tampil dengan wajah yang bersih, berwibawa, dan berpihak kepada rakyat. Karena pada akhirnya, tujuan dari setiap kegiatan pemerintahan bukanlah perjalanan atau seremonial, melainkan hasil nyata yang bisa dirasakan oleh masyarakat. Dan semoga, dari setiap Bimtek yang diikuti, lahir aparatur yang lebih kompeten, lebih berintegritas, dan lebih sadar bahwa tugas utamanya adalah mengabdi, bukan sekadar hadir.

Tinggalkan Balasan