Oleh:
Mohtar Umasugi
Perceraian bukan sekadar urusan pribadi antara suami dan istri, tetapi juga fenomena sosial yang memiliki dampak luas bagi masyarakat. Di Kabupaten Kepulauan Sula, tren perceraian menunjukkan kecenderungan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini patut menjadi perhatian bersama, sebab keluarga merupakan pilar utama dalam tatanan sosial yang harmonis.
Data dari Pengadilan Agama menunjukkan bahwa jumlah kasus perceraian mengalami peningkatan yang signifikan di tahun 2020 berjumlah 80 dan di tahun 2021 meningkat menjadi 108 ( repotmalut 19 Agustus 2021). Namun bila di bandingkan dengan tahun sebelumnya maka angka kasus perceraian mengalami penurunan di tahun 2023 berjumlah 31 pasang, dan tahun 2024 angka kasus perceraian berjumlah 35 pasang (data KUA kec. Sanana).
Walaupun di dua tahun terakhir angka perceraian mengalami penurunan secara drastis, tetapi bukan berarti kasus perceraian telah selesai. Olehnya harus ditelusuri lebih dalam agar diketahui bahwa angka perceraian ini tidak hanya mencerminkan masalah domestik semata, tetapi juga mencerminkan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang di daerah ini.
Fenomena ini bukan hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga merambah ke daerah-daerah dengan budaya kekeluargaan yang masih kuat. Artinya, ada pergeseran nilai dalam institusi pernikahan yang perlu ditelaah lebih lanjut.
Opini ini ditulis untuk memberikan perspektif kritis terhadap fenomena perceraian di Kepulauan Sula dengan pendekatan regulasi dan hukum Islam.
Berbagai faktor menjadi penyebab meningkatnya angka perceraian di Kepulauan Sula. Beberapa di antaranya adalah:
Persoalan Ekonomi
Ketidakstabilan ekonomi menjadi faktor dominan dalam perceraian. Sulitnya mendapatkan pekerjaan tetap, kurangnya peluang usaha, dan tekanan ekonomi akibat biaya hidup yang meningkat sering kali menjadi pemicu konflik rumah tangga.
Ketidakharmonisan Rumah Tangga.
Perbedaan prinsip, kurangnya komunikasi yang baik, serta hilangnya rasa saling menghargai sering kali membuat hubungan suami istri retak. Dalam banyak kasus, ketidakcocokan yang terus-menerus berujung pada keputusan untuk berpisah.
Pengaruh Media Sosial.
Teknologi dan media sosial juga berkontribusi dalam meningkatnya angka perceraian. Perselingkuhan yang bermula dari media sosial semakin marak terjadi. Interaksi yang berlebihan di dunia maya sering kali menggeser prioritas pasangan terhadap kehidupan rumah tangga.
Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kasus kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis, juga menjadi faktor signifikan dalam perceraian. Banyak perempuan yang akhirnya memilih bercerai sebagai bentuk perlindungan diri dan anak-anak mereka.
Pernikahan Dini dan Kurangnya Pendidikan Perkawinan.
Banyak pasangan yang menikah dalam usia muda tanpa kesiapan mental dan ekonomi. Hal ini sering kali berujung pada perceraian karena ketidakmampuan dalam menjalani kehidupan rumah tangga yang harmonis.
Perceraian tidak hanya berdampak pada pasangan yang berpisah, tetapi juga pada anak-anak dan masyarakat secara luas. Beberapa dampak yang terlihat antara lain:
Dampak Psikologis bagi Anak.
Anak-anak yang berasal dari keluarga bercerai sering mengalami tekanan psikologis, kecemasan, hingga trauma yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang mereka. Tidak jarang, anak-anak dari keluarga bercerai mengalami penurunan prestasi akademik dan kesulitan dalam membangun hubungan sosial.
Dampak Sosial.
Meningkatnya angka perceraian dapat mengganggu stabilitas sosial, terutama di lingkungan yang masih menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Fenomena ini juga dapat menimbulkan stigma sosial bagi perempuan yang bercerai, meskipun perceraian adalah hak mereka dalam kondisi tertentu.
Dampak Ekonomi.
Perceraian sering kali membawa dampak finansial, terutama bagi perempuan dan anak-anak yang kehilangan sumber nafkah. Banyak kasus di mana perempuan yang telah bercerai kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, terutama jika tidak memiliki pekerjaan atau keterampilan yang cukup.
Secara hukum, perceraian diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 yang telah diperbarui dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019. Dalam Pasal 39 UU Perkawinan disebutkan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan pengadilan setelah pengadilan berupaya mendamaikan kedua belah pihak.
Selain itu, dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), perceraian harus memenuhi syarat-syarat tertentu dan dilakukan sesuai prosedur yang sah, baik untuk pasangan Muslim maupun non-Muslim. Islam sendiri memandang perceraian sebagai hal yang diperbolehkan tetapi dibenci oleh Allah, sebagaimana disebutkan dalam hadis: “Perkara halal yang paling dibenci Allah adalah perceraian.” (HR. Abu Dawud).
Dalam hukum Islam, perceraian harus menjadi jalan terakhir setelah segala upaya rekonsiliasi gagal. Bahkan, Islam menekankan pentingnya hak-hak perempuan pasca-cerai, termasuk hak nafkah dan pengasuhan anak yang harus dipenuhi oleh mantan suami.
Melihat kompleksitas masalah perceraian, perlu ada langkah konkret yang bisa dilakukan untuk menekan angka perceraian di Kepulauan Sula. Beberapa upaya yang dapat dilakukan antara lain:
- Pendidikan Pra-Nikah, Pemerintah daerah dan lembaga keagamaan harus lebih aktif memberikan pendidikan pra-nikah agar calon pasangan memiliki kesiapan mental, ekonomi, dan emosional sebelum menikah.
- Penguatan Ekonomi Keluarga, Meningkatkan program pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan, agar mereka memiliki kemandirian finansial yang bisa menjadi benteng dalam menghadapi konflik rumah tangga.
- Pendampingan dan Mediasi, Pengadilan Agama harus lebih mengutamakan mediasi sebelum mengabulkan perceraian. Lembaga sosial dan keagamaan juga harus berperan dalam memberikan pendampingan bagi pasangan yang mengalami konflik rumah tangga.
- Penyuluhan Hukum Islam tentang Hak dan Kewajiban dalam Pernikahan. Masyarakat perlu diberikan pemahaman lebih dalam mengenai hak dan kewajiban dalam rumah tangga berdasarkan ajaran Islam, agar suami dan istri dapat menjalankan peran mereka dengan sebaik-baiknya.
Perceraian adalah fenomena yang kompleks dan memiliki dampak besar bagi individu maupun masyarakat. Di Kepulauan Sula, tren perceraian yang meningkat harus menjadi perhatian bersama. Hukum Islam dan regulasi negara telah memberikan pedoman dalam mengelola pernikahan dan perceraian, tetapi perlu diiringi dengan upaya pencegahan dan pendampingan yang lebih baik.
Membangun keluarga yang harmonis bukan hanya tanggung jawab pasangan suami istri, tetapi juga tanggung jawab masyarakat dan pemerintah. Dengan pendekatan yang komprehensif, diharapkan angka perceraian di Kepulauan Sula dapat ditekan, sehingga tercipta kehidupan sosial yang lebih stabil dan sejahtera.

 
							








